Terima Kasih Telah Berkunjung Ke PIMR, Kunjungan Anda Adalah Dukungan Anda, PIMR Membuka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Siapa Saja Yang Mau Bergabung, Mempunyai Minat, Memiliki Kesamaan Visi & Misi Membangun Daerah Manggarai, Dengan Menaikan Status Blogspot Ini Menjadi Situs Informasi Resmi Bagi Masyarakat Manggarai

Minggu, 10 Agustus 2025

"Hangat Senja yang Hilang di Rumah Bapak Nadus"

Cerpen*

Senja merayap pelan di dinding papan rumah itu. Cahaya jingga menembus sela jendela, membentuk garis tipis di lantai papan. Di ruang tengah, televisi tua bersuara serak memutar berita nasional. Empat pasang mata menatap layar, dan ya..seakan waktu berhenti.

"Seorang prajurit muda TNI AD yang baru dua bulan berdinas, tewas dianiaya seniornya sendiri..."
Suara pembawa berita menusuk telinga, merayap ke dada, menjadi gumpalan perih yang 
tertahan tak kuasa dibuang.

Bapak Nadus terdiam, jemarinya yang kasar menggenggam lutut. Di sampingnya, Ibu Maria menatap layar dengan mata membesarmata yang sama, yang pernah berbinar saat Untung, anak ketiga mereka, lulus tes TNI setelah tiga kali gagal.


Dulu, hari itu adalah hari paling indah bagi Maria.
Pagi-pagi ia membangunkan suaminya.
"Bapa, anak kita lulus!" serunya, sambil memeluk Nadus erat-erat.
Di halaman, tetangga-tetangga berdatangan memberi selamat. Tak ada yang tahu, untuk mengantarkan Untung 
sampai tahap ini, dua petak tanah warisan telah mereka lepas.
"Demi masa depan anak," begitu kata Nadus.


Masih terekam dalam ingatan, saat Untung pamit untuk test ke-3, rumah terasa ramai tapi berat. Bau kopi panas bercampur aroma ubi kayu rebus memenuhi ruang tengah.
Untung duduk di bangku kayu, 
baju baru dan ransel hitam di punggung.
Maria merapikan kerah bajunya.
"Kalau makan, jangan buru-buru. Minum obat kalau sakit. Ingat, di sana semua orang itu saudaramu," pesannya, sambil menepuk pipi anaknya pelan.

Rian menepuk bahu adiknya. "Kalau latihan, jangan ngeluh. Tapi kalau ada yang aneh atau tidak adil, jangan diam."
Rado tersenyum kecut. "Jangan lupa kirim kabar. Jangan cuma kirim minta uang."
Mereka semua tertawa.

Untung mengangguk, lalu menyalami ayahnya.
Bapak Nadus menggenggam tangan itu lama. "Jangan bikin malu kampung ini, Nak. Ingat, kita tidak punya apa-apa selain nama baik."
"Iyo, Bapa," jawab Untung mantap.

Sebelum melangkah keluar, ia berbalik, menatap wajah-wajah itu: ayah, ibu, kakak-kakaknya, dan Dini yang memeluk boneka kain.
"Kalau sudah jadi tentara, nanti aku pulang pakai baret merah, Ma," katanya sambil tersenyum lebar.
Maria menahan air mata, membalas senyum itu dengan doa yang tak pernah selesai.

Sore itu, senja tampak indah dan hangat, seolah mengantar mimpi baru.

gambar: ilustrasi



Kini, senja itu kembali tapi bukan untuk membawa kabar baik.
"Asa hi nana dite ta Bapa!" jerit Maria dalam bahasa Manggarai, tubuhnya bergetar. "Bagaimana dengan anak kita, Ayah?"
Bapak Nadus menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata.
"Iyo, Ma... kita harus percaya dia kuat. Kita serahkan pada Tuhan."
Tapi di balik suaranya, ada retakan yang tak bisa ia sembunyikan.

Rian mengepalkan tangan, Rado menatap layar dengan sorot mata membara. Hanya Dini yang belum mengerti, memeluk boneka kainnya erat-erat, merasa udara rumah tiba-tiba dingin.

Bagi keluarga Nadus, berita itu bukan sekadar kabar. Ia adalah pencuri harapan. Negara yang mereka percayai untuk menjaga anak mereka, kini diwakili oleh kabar kebiadaban yang mencabik hati.

Kisah Untung adalah kisah setiap orang tua yang menitipkan anaknya pada barak-barak tentara, berharap ia pulang dengan kepala tegak, kebanggaan keluarga dan kampung halaman bukan dibawa pulang dalam peti.
Dan senja hari itu, di rumah sederhana di pelosok Manggarai, mimpi yang pernah mereka lepas ke langit, jatuh berkeping-keping di tanah. Dingin menusuk. Di luar butiran air hujan bak tirai langit. Sesekali ada silauan cahaya, guntur menggelegar. **GWS**

*in memoriam Prada Lucky Chepril Saputra Namo