Blogger Widget
Terima Kasih Telah Berkunjung Ke PIMR, Kunjungan Anda Adalah Dukungan Anda, PIMR Membuka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Siapa Saja Yang Mau Bergabung, Mempunyai Minat, Memiliki Kesamaan Visi & Misi Membangun Daerah Manggarai, Dengan Menaikan Status Blogspot Ini Menjadi Situs Informasi Resmi Bagi Masyarakat Manggarai

Sabtu, 02 Agustus 2025

Antara Barabas dan Hasto: Refleksi Teologis dan Politik atas Pembebasan oleh Kekuasaan

 Oleh: G. W. Seda,S. Fil. 

Ketika Presiden Prabowo Subianto memberi amnesti atau abolisi kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan yang terjerat kasus obstruksi keadilan, lanskap politik Indonesia berguncang. Tak hanya karena ini merupakan langkah langka dari kepala negara yang baru dilantik, tetapi karena resonansinya menembus ruang hukum, politik, dan bahkan nilai moral. Sebagai seorang Katolik, nama Hasto Kristiyanto mengundang refleksi spiritual teologis yang lebih dalam. Kita pun teringat pada kisah dalam Injil ketika Pontius Pilatus membebaskan Barabas, seorang pemberontak, dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Dua momen sejarah inibmeskipun terpisah dua milenium beririsan dalam satu kata kunci: pembebasan oleh kekuasaan. 


Pilatus dan Prabowo: Kekuasaan yang Tertekan 
Dalam kisah Injil (27:15-26), Pilatus tahu bahwa Yesus tidak bersalah. Namun, tekanan dari para imam kepala dan massa membuatnya menyerah. Ia membebaskan Barabas, dan mencuci tangan atas penyaliban yang ia sendiri tak yakini. Ia memilih stabilitas sosial di atas kebenaran moral. Dalam konteks kontemporer, Presiden Prabowo yang tengah membangun koalisi besar nasional menghadapi tekanan politik dari partai besar, PDIP. Pembebasan Hasto, lewat amnesti atau abolisi, menjadi kompromi kekuasaan, demi menjaga harmoni elit dan kelancaran pemerintahan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa langkah ini tidak dilakukan dalam ruang hampa. Amnesti Hasto disetujui DPR dan dipuji oleh elite PDIP sebagai sikap kenegarawanan Presiden. Anggota Fraksi PDIP Romy Soekarno bahkan menyatakan, "Saya menghormati dan menyampaikan apresiasi yang setinggi‑tingginya kepada Presiden Prabowo Subianto atas keputusan kenegaraan yang arif dalam memberikan amnesti kepada Mas Hasto Kristiyanto” (news.detik.com/ 1/8/225) penanganan kasus tersebut dalam banyak hal, lebih mencerminkan manuver kekuasaan ketimbang penegakan hukum yang objektif dan adil." Sementara itu, Prof. Umbu Rauta dari Universitas Kristen Satya Wacana mengingatkan bahwa, "Amnesti dan abolisi ini memiliki dasar hukum yang kuat karena diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 (hukumonline.com, 1/8/2025) , Namun, langkah ini juga bisa menjadi alat negosiasi politik untuk merangkul berbagai kepentingan." 

Barabas dan Hasto: Dua Sosok, Dua Dunia 
Barabas adalah kriminal politik; Hasto adalah politisi dalam sistem demokrasi. Namun keduanya dibebaskan bukan karena sistem hukum yang membebaskan secara objektif, melainkan karena keputusan pemimpin yang mungkin, dan bisa jadi, berada di bawah tekanan. Barabas dibebaskan karena kehendak massa yang disulut elite agama; Hasto dibebaskan karena dorongan elite politik. Keduanya adalah produk dari sistem kekuasaan yang memilih kompromi daripada prinsip hukum murni. 

Teologi Kristen dan Politik Pengampunan 
Dalam tradisi Katolik, pengampunan bukan sekadar keputusan administratif. Ia memerlukan tobat, pengakuan dosa, dan pertobatan sejati. Jika amnesti dan abolisi diberikan tanpa transparansi, tanpa proses pertobatan publik atau klarifikasi yuridis, maka ia lebih mirip "pengampunan politik"bukan pengampunan moral. Kekristenan selalu mengingatkan bahwa yang lemah harus dibela, dan keadilan harus ditegakkan, bukan ditukar. 

Dimensi Pastoral: Kedekatan Hasto dan Uskup Suharyo 
Menarik dicatat, dalam momen penahanan Hasto, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo mengunjungi Hasto secara langsung di rutan KPK menjelang Paskah 2025. Kunjungan ini bukan hanya bentuk solidaritas keagamaan, tetapi juga merupakan bagian dari tradisi pelayanan pastoral Gereja Katolik seperti yang dilakukan Paus Fransiskus menjelang hari suci, dengan mengunjungi para tahanan. Kedekatan Suharyo dan Hasto bukan hanya spiritual tetapi juga personal; mereka berasal dari lingkungan yang sama di Yogyakarta. Bahkan Kardinal Suharyo pernah menyebut bahwa ia dan Hasto mengenal sejak masa kecil. Namun Suharyo menegaskan bahwa kehadirannya di rutan bukan karena pertimbangan politik, melainkan tanggung jawab moral Gereja untuk hadir di tengah penderitaan umat. Hasto pun menggunakan waktu penahanannya sebagai momen retret rohani: berpuasa, berdoa, dan merefleksikan hidup. Hal ini memberi lapisan spiritual yang kuat dalam narasi publiknya, tetapi tetap menuntut pengujian apakah pertobatan batin itu juga hadir dalam tindakan nyata dan sikap jujur terhadap proses hukum. 

Rakyat sebagai Yesus: Yang Dikorbankan 
Yang paling ironis dari semua ini adalah, dalam kedua kisah tersebut, ada satu korban diam yang tidak mendapatkan pembelaan sejati: Yesus dalam kisah Injil, dan rakyat dalam kisah Indonesia. Yesus adalah simbol kebenaran yang dikorbankan oleh sistem yang korup. Rakyat hari ini bisa menjadi simbol Yesus yang menanggung beban dari kompromi elite. Ketika hukum dibelokkan, ketika keadilan dinegosiasikan, maka rakyatlah yang kehilangan iman kepada sistem. 

Penutup: Politik Tanpa Nurani? 
Dalam demokrasi, amnesti adalah hak prerogatif presiden. Dalam iman, pengampunan adalah buah dari pertobatan. Namun dalam politik kekuasaan, seringkali keduanya digunakan sebagai alat transaksi. Pertanyaannya kini: apakah kita sedang melihat bentuk pengampunan yang sejati, atau hanya kompromi pragmatis demi kenyamanan elite? Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Yesus yang memilih salib demi kebenaran. Bukan Pilatus, yang mencuci tangan. Bukan pula Barabas, yang bebas tanpa tobat. Dan rakyat? 

Mereka masih menunggu keadilan yang tak bisa dibeli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda