Judul
asli cerita perjalananan ini adalah "Eksotisme Kampung Wae Rebo Dan
Perjalan Yang Asyik". Ini merupakan sebagai upaya tetap lestari dalam
waktu dan tak pudar ingatan yang dibuat penulis untuk setiap perjalanan
hidup dan perjumpaannya. Mengutip semboyan dalam website pribadinya
(omvalen.com), "Ut
wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation
ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.
Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse
molestie consequat" kami sangat berkeyakinan bahwa salah satu penggalan
tulisan Cicero ini ingin Vens (sapaan akrabnya) terapkan dalam realitas
hidupnya sebagai akademisi yang berkecimpung dalam urusan kemasyarakatan
mewakili Pemkab Manggarai. Atas nama PIMR kami turut berbangga dengan
dedikasi yang ditunjukannya dan tentunya sangat terbuka untuk memposting
kisah perjalanan selanjutnya.
Wae
Rebo.
Inilah
sebuah cerita perjalanan saya beberapa waktu lalu. Di sebuah kampung terpencil
yang telah mendapatkan pengakuan atas upaya masyarakat setempat untuk
melestarikan struktur Mbaru Niang nan unik.
Saya
yakin anda telah memiliki begitu banyak referensi yang cukup dari berbagai
informasi yang ada. Atau pun mungkin anda telah mengalami sendiri melalui
kunjungan langsung ke obyek wisata tersebut.
Kampung
kecil di atas awan yang telah meraih penghargaan Warisan Budaya Asia-Pasifik
UNESCO enam tahun silam. Tepatnya diumumkan tahun 2012.
Namun
meski kunjungan saya yang ketiga kalinya ini, Wae Rebo tetap seperti
“baru terlihat”. Unik dan memberikan perasaan kebahagiaan tersendiri
bagi setiap
pengunjung, termasuk saya.
Iya,
ini di sebuah negeri di atas awan. Negeri dimana awan berarak dalam balutan
pantulan cahaya senja yang menyuguhkan nuasa keindahan yang tersebunyi. Negeri
para leluhur. Negeri dengan keunikan budaya, adat istiadat, ditambah lagi
keramahan warganya serta kearifan lokal yang masih kuat.
Trekking
Yang Melelahkan
Bagi
yang suka berpetualang, di sinilah tempatnya. Kurang lebih Empat kilometer
bukanlah jarak yang bisa dilalui dengan mudah. Ini masih lebih baik. Tahun
2013, seingat saya tanggal 12 September 2013 dalam perjalanan pertama saya ke
sana, jalan kaki dimulai dari SDI Denge. Sekitar 2 kilometer dari situ
menuju Wae Lomba, tempat dimulainya trekking yang sesungguhnya.
Itu
artinya perjalanan menuju Wae Rebo ditempuh sekitar 5 jam lebih. Tidak seperti
sekarang dari Wae Lomba telah menghemat separuh waktu. Sekitar 2 jam lebih
sedikit.
Perjalanan
yang pertama itu, saya bersama dengan rombongan ibu Wakil Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Prof. Wiendu Nuryanti. Beliau bertekad untuk
bisa menyapa warga masyarakat Kampung Wae Rebo.
Namun
tekat membara saja tidaklah cukup. Dibutuhkan semangat juang yang tinggi supaya
langkah kaki terus bergerak menyusuri jalan sempit di antara lereng perbukitan
dan curam.
Saat
itu, Prof. Wiendu, akhirnya menyerah. Maka saya dan beberapa teman lain dari
Humas Protokol Manggarai pun sigap. Sarung songke yang dipakai oleh masyarakat
setempat menjadi sarana memudahkan Ibu Prof. Wiendu untuk terus melanjutkan
perjalanan dengan menggotongnya sampai di Kampung Wae Rebo. Demikian pun esok
harinya saat pulang dari Wae Rebo.
Setelah
itu, menurut informasi wisatawan terus mengalir menuju kesana. Tentu saja
karena aksesnya semakin mudah. Dari Wae Lomba sebagai titik start menikmati
alam nan indah permai.
Meski Terisolasi, Negara Tetap Hadir
Bagi Masyarakat Adat Wae Rebo
Kata-kata
ini saya kutip dari Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam
Negeri Prof. DR. Zudan Arif Fahrulloh, SH. MH saat menyerahkan sejumlah dokumen
kependudukan kepada warga masyarakat adat Kampung Wae Rebo pada Jumat,
(12/7/2019) kemarin. Saya pun ikut serta dalam perjalanan tersebut, sekaligus
menjadi pemandu acara.
Bahwa
kehadiran pemerintah di tempat ini merupakan sebuah isyarat akan kehadiran
negara di tengah masyarakat Wae Rebo. Meski terisolasi.
“Sekarang
ini semangat pemerintah sudah berubah. Dulu masyarakat yang ke pemerintah, namun
sekarang pemerintah ke masyarakat untuk melayani adminstrasi kependudukan.
Mudah mudahan dengan kehadiran kami ini membuat kehadiran negara ada di kampung
ini,” tuturnya di hadapan masyarakat adat Kampung Wae Rebo.
Pada
saat itu, Prof Zudan serta rombongan dari Dukcapil Kemendagri, Dukcapil
Propinsi dan Dukcapi Pemkab Manggarai menyerahkan beberapa dokumen kependudukan
berupa KTP, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, Kartu Identitas Anak, Akta
Kematian, dan Akta Perkawinan.
Tidak
hanya Prof. Zudan yang berbangga hati. Sekaligus menyampaikan rasa bahagianya
karena bisa mengunjungi Wae Rebo. Beberapa minggu sebelumnya, Gubernur NTT
Viktor Bungtilu Laiskodat telah melakukan perjalanan yang sama. Bahkan Beliau
sudah kali kedua mengunjungi tempat tersebut.
Itu
artinya, semua orang bangga dengan Wae Rebo yang masih mempertahankan tradisi
rumah kerucut yang sudah lama terpelihara. Apalagi sebelumnya tanggal 27
Agustus 2013 dipublikasikan Wae Rebo yang mendapatkan penghargaan tertinggi
dari UNESCO Asia-Pasific Awards for Cultural Hertage Conservation atau
penghargaan untuk konsevasi warisan budaya.
Kehidupan
Harian Masyarakat Wae Rebo
Kehidupan
harian masyarakat Wae Rebo sama seperti masyarakat lainnya di Manggarai yaitu
dari hasil pertanian, terutama kopi. Ada dua kampung utama yaitu kampung Kombo
dan Wae Rebo. Kampung Kombo ini letaknya berdekatan dengan kampung terakhir di
Denge, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat-Manggarai.
Karena
itu untuk mensuplai kebutuhan hidup mulai dari beras sampai dengan kebutuhan
lainnya semuanya didatangkan dari Kampung Kombo. Anak-anak juga disekolahkan di
kampung Kombo. Karena itu, saat melaksanakan trekking menuju Wae Rebo, saya
sering berpapasan dengan sejumlah anak yang kembali ke kampung Kombo sambil
memikul hasil kopi yang sudah diolah.
Anak-anak
pun sudah dipisahkan dengan keluarganya sejak masuk Sekolah Dasar. Setiap akhir
pekan biasanya mereka pulang ke kampung Wae Rebo sekaligus membawa serta dengan
beras maupun barang lainnya untuk kebutuhan selama sepekan dan juga untuk
kebutuhan pelayanan tamu yang berkunjung.
Namun
karena Wae Rebo sudah menjadi tempat wisata yang setiap hari dikunjungi oleh
para wisatawan baik lokal maupun manca negara, maka untuk menopang kehidupan
harian mereka saat ini masyarakatnya bisa hidup dari pariwisata. Hal itu
dijelaskan Ketua Lembaga Adat Fransiskus Mudir, saat menerima Prof. Zudan dalam
ritus tuak curu dan manuk kapu di Niang utama.
Tujuh
rumah adat berbentuk kerucut inilah yang menjadi kebanggaan sekaligus menopang
kehidupan masyarakat Wae Rebo. Tujuh rumah dengan atap rumbia yang menjulang
tinggi ini telah bertahan selama 19 generasi. Hawanya yang sejuk tentu saja
menambah suasana alam perkampungan yang dikelilingi deretan pengunungan dan
bukit yang berdiri tegak.
Waktu pun beranjak senja, udara mulai dingin. Maklum tempat tersebut berada di atas ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Kalau di Ruteng saja, anda bisa merasakan suhu udara sampai 9 Derajat Celcius, apalagi di Wae Rebo. Akhirnya kami pun pamit.
Salam.
tulisan
asli dikutip dari
:https://www.omvalen.com/2019/07/eksotisme-kampung-wae-rebo-dan.html
(dibagikan atas permintaan penulis asli)Berita Terkait: "Negara Hadir" di Wae Rebo: Kunjungan Dirjen Dukcapil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda