“Surga itu pasti indah!
Karena tak seorang pun dari sanak keluarga kita yang telah meninggal kembali
lagi ke dunia ini.” Pernyataan ini merupakan petikan beberapa kalimat dari
seorang pastor katolik yang sedang berusaha menghibur dan meneguhkan keluarga
yang ditinggalkan seorang bapak keluarga karena kematian yang ‘mendadak’ dalam sebuah
kotbah misa requiem.
Kematian seseorang
biasanya meninggalkan segudang pertanyaan.Tak jarang pertanyaan retoris.
Mengapa? Bagaimana? Ke mana? Beserta sederetan kata Tanya lainnya. Yang masih
hidup bertanya dan mempertanyakan. Tak ada jawaban pasti. Kebanyakan analisa post
mortem. Sebagain kecil di antaranya memberi kepuasan. Hanya kepuasan
psikologis. Dipaksa untuk memahami berdasarkan rangkaian fakta ante mortem.
Sebagian besarnya lagi mengambang. Tetap tertinggal sebagai kata Tanya. Tanpa
jawaban.
Hanya dia yang pergi,
yang meninggal, yang tahu pasti tentang proses kematiannya. Mungkin? Tak ada
jawaban pasti! Karena yang meninggal telah kehilangan kesadarannya secara
total. Otak tidak lagi berfungsi. Belum tentu! Boleh jadi, saat kematian adalah
moment manusia mengalami kesadaran secara total. Bukan oleh indra bahkan otak.
Tetapi seluruh dirinya.
Ilustrasi Radar Pancha Dahana/Kompas |
“Saat Maut
Batal Menjemput”, merupakan sebuah cerpen
yang sarat dengan pertanyaan reflektif dan menggelitik. Sains (ilmu medic)
menggambarkan akhir hidup manusia dengan kehilangan fungsi kesadaran secara
bertahap. Lain dengan si Aku dalam Saat Maut Batal Menjemput. Dalam kehilangan,
si Aku mendapatkan. Lebih tepatnya si Aku tidak kehilangan. Pemahaman! Ia tidak
hilang. Pemahaman ! Ia tetap. Ia tidak
hanya dimiliki oleh mata dan dicerna oleh otak tetapi seluruh bagian tubuh.
Kesadaran sempurna dan total ini yang membuat si Aku sanggup “melihat”
kehadiran Eva. Ia adalah perempuan simbolik yang menjadi mitra dialog si Aku di
ujung jalan hidupnya. Si Eva hadir tidak menghakimi. Ia membuka ruang insaf,
menyingkap cakrawala kesadaran. Eva mempesona sekaligus menggetarkan, membuat
si Aku takut kehilangan lagi. Nama Eva pula yang menjadi penarik si Aku ke
kesadaran fisis yang dibatasi kebudayaan warisan dan pemahaman logis-rational.
Si Eva lenyap, maut pun batal menjemput. Si Aku kembali pada rutinitas harian…
dalam kesendirian “bersama”.
Anda tertarik dan ingin
melanjutkan “Saat Maut Batal Menjemput”? Silahkan teruskan membaca racikan
sastra karya Radhar Panca Dharma* di
bawah ini. Anda bisa berkomentar dan menarik kesimpulan anda sendiri. Tiap kita
pasti akan mengalami pergulatan akhir itu. Entah seperti apa cerita
sesungguhnya…
“Saat Maut
Batal Menjemput”
AKU tahu, di tiap “sakit itu”, “tak siapa pun di situ”. Kesendirian,
kadangkala juga sebuah kesunyian, memang adalah watak sakit yang sebenarnya.
Tapi tidak kali ini. “Sakit ini”, rasa sakit yang ada sekarang ini, bahkan “aku
pun tidak di sini”. Entah kenapa. Aku belum paham, apakah ini hikmah atau jati
diri sakit yang sesungguhnya. Yang melampaui kesadaran biologis bahkan kepekaan
psikologisku. Ah… aku…aku sesungguhnya tidak cemas pada “sakit ini atau itu”,
aku juga tidak peduli ini watak atau jati diri sakit yang sesungguhnya atau
bukan. Apa yang kucemaskan hanyalah kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku
masih memilikinya?
Aku mencoba paham, jangan-jangan aku sudah “mengatasi” sakit itu, atau ini
keadaan yang “meng-atas-i” sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan,
menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini datang padaku. Tapi aneh,
bahkan ajaib, untuk pertama kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran
fisiologis juga kepekaan psikologisku. Akal? Sejak mula sebenarnya sudah tidak
bekerja. Ia berhenti dengan sendirinya. Ia bukan lagi sentrum atau pusat di
mana seluruh kapasitas berbicara tubuh dan perasaanku ditentukan. Akal adalah
bagian yang lebih cepat mati.
Mati? Jangan-jangan tak hanya akalku. Menurut ukuran medis di Amerika
Serikat yang kutahu, kematian (biologis setidaknya) ditentukan oleh daya kerja
otak, sebagai bagian paling sentral dari kehidupan (yang mereka percaya, tentu
saja). Sebagai orang yang bukan-Amerika, sekurangnya menolak menjadi bagian
dari sejarah peradaban mereka, aku tidak begitu peduli atau tergantung pada
otak alias akal. Aku hidup dengan mengoperasikan secara lebih kuat daya kerja fisik
dan mental-emosional. Katakanlah secara sempit dan reduktif, refleks dan rasa.
Begitupun kali ini, di tingkat “sakit ini”. Seluruh daya kukerahkan untuk
mempekerjakan kekuatan, ilmu hingga kesadaran biologis dan psikisku. Namun
sekian lama, sekian waktu yang kuanggap lebih dari cukup, aku tak merasakan
apa-apa, tak menyadari apa-apa. Apa tubuh dan emosiku sudah tidak bekerja lagi?
Atau ia mati akibat kematian otakku? Tidak. Tubuh dan emosi adalah ilmu dan
kesadaran, budaya dan peradaban tersendiri, kadang lebih kuat dari akal.
Tapi kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka pun mati? Apa artinya
sesungguhnya sakit ini adalah mati yang sejati? Namun mengapa aku masih bisa
melihat? Dengan penglihatan apa, dengan mata yang mana? Memang, pemandangan
yang kulihat berbeda dari biasa. Langit, awan dan bintang misalnya nampak hanya
sebagai kejembaran atau keluasan yang tak membutuhkan tepi bahkan isi.
Kekosongan ini memenuhi pandang, bahkan mataku. Bahkan seluruh diriku kini
seakan menjadi mata. Mata apa ini? Mataku yang mana? Mata siapa?
Kosong ini memadati aku seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti,
dengan daya atau kekuatan tak terperi. Aku seperti noktah dengan gravitasi
terbesar yang segera akan menciptakan bang, semacam ledakan yang sangat hebat.
Seperti ereksi yang tak mungkin ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun.
Beginikah kematian, puncak semua kesakitan, melenyapkan keseluruhan diri dengan
ledakan besar untuk mengisi kosong yang penuh ini? Bagaimana aku sanggup
menanggungnya? Tidak…tidak aku tak sanggup, Tuhan.
“Memang…bagaimana kau sanggup? Kau cuma manusia…cuma.”
“Betul. Apa daya manusia di keluasan, kepenuhan semesta.”
“Kamu bukan apa-apa…”
“Betul aku bukan apa-apa.”
…
“Lalu, aku apa?”
“Kamu sekadar mata.”
“Mata? Maksudmu?”
“Kamu hanya penglihatan. Hanya bisa melihat. Mungkin memahami, sedikit.
Tapi tak bisa menyentuh…merasakan, memiliki…menciptakan, apalagi.”
“Oh…betul. Tapi mata ini saja sudah begitu luar biasa. Hingga apa yang
kulihat tak mampu menangkapnya, menyimpan atau mencernanya. Tak ada sel otak
manapun, bahkan kata, huruf sekalipun dapat tersusun untuk memahami semua…semua
yang ada pada mataku saat ini.”
“Inilah kenyataan kedua. Kenyataan yang harus kau baca.”
“Harus kubaca? Melihat pun aku tak bisa seluruhnya.”
“Apa kamu beragama?”
“Tentu saja.”
“Pernahkah kau membaca kitab-kitab dalam agamamu?”
“Tentu.”
“Untuk apa?”
“Kewajiban.”
“Apa tujuannya?”
“Ya…memahami, isinya.”
“Pahamkah kamu?”
“….Saya tak tahu, tak bisa menilai.”
“Apa sebenarnya paham itu?”
“Aku tak mengerti maksudmu…?”
“Paham itu bukan melulu mengerti arti, tersirat atau tersurat.”
….
“Bukan sesuatu yang teranalisa, tersimpan dan tercerna dalam 1.300 cc isi
otakmu. Bukan hal yang melulu akal.”
“Maksudmu…”
“Huruf terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang sebenarnya. Bagi
kenyataan yang terlalu besar untuk tertangkap dan dicerna indera. Seluas apa
pun akal dan imajinasi, ia hanya sungai di samudera hidup sesungguhnya.”
….
“Sesungguhnya paham harus terjadi di seluruh bagian dirimu.”
“Bukan hanya pikiran?”
“Jantung, jempol, mata, rambut, tungkai, usus, batin, emosi, semua.”
“Bagaimana…?”
“Pertanyaannya keliru. Jawaban pasti juga salah. Berhentilah hidup hanya
dengan akal. Tubuhmu terlalu hebat hanya untuk diperintah, diakali akal.”
“Sungguh…aku tak paham.”
“Keluarlah dari huruf. Temui kenyataan dan hidupmu sebenarnya, dengan seluruh
yang ada dalam dirimu. Dapatkanlah ilmu dalam jiwamu, dalam batinmu, dalam
betismu, dalam jakunmu, gigimu, dalam langkahmu…”
“Bagaimana…bisa?”
“Tidak akan bisa. Karena kamu sudah terjebak sejak dini. Dalam huruf.”
“Tapi tulisan, itulah kebudayaan, kemajuan manusia, hidup sebenarnya?”
“Kebudayaan yang membuat keliru manusia, begitu lama.” Bibir misteri itu
tersenyum, membuat langit terbuka dan seperti sebuah mata mengintip di
baliknya.
“Hah? Jadi…”
“Jadilah mata sesungguhnya, untuk membaca…”
“Membaca apa? Melihat pun tak bisa.”
“Karena kau merasa ini matamu yang dulu, mata yang biasa, di kepala.”
“Maksudmu…ini mata yang lain lagi? Mata hati begitu?”
“Mata seluruh dirimu.”
“Diri yang menjadi mata?”
….
“Mata sebenarnya mata?”
….
“Mata yang melihat nyata yang sebenarnya nyata?”
Tersenyum lagi.
Kali ini langit lenyap. Semesta kosong, suwung. Aku tak dimana, tapi di
sana. Semua senyum semata.
***
SEJAK tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja. Tanpa kesadaran,
seperti dengan diri sendiri, seperti mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapi…yang
ini, bukan mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah. Bukan ilusi atau
fana. Nyata sebenarnya nyata. Wanita pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum
yang tadi. Senyum yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan bahagia karena
jawaban-jawaban terakhirku tadi? Monalisa?
Bukan. Ia lebih sempurna, jauh lebih indah, terlebih kedalaman samudera di
balik pandangannya. Ia memandangku dengan cara yang membuatmu tak berdaya
karena ia memenuhi seluruh kosong yang sebelumnya memadatiku. Sinar matanya
seperti riwayat jutaan tahun peradaban manusia, menukik ke bagian terdalam
hati, merenggut dan menenggelamkanku, untuk selamanya. Untuk selamanya.
Mengapa? Karena aku merasa seperti mendapat bantalan tidur yang tidak
memberi sedikit pun rasa ingin untuk bangun. Aku henyak, seperti duduk di
pelaminan Adam.
“Apa kamu Eva?”
“Aku adalah semua hawa yang kau butuhkan untuk kosongmu.”
Ah…kalimat itu diakhiri oleh nafas yang menghembuskan udara dimana
molekul-molekul penyusunnya bukan hanya menghidupkan makhluk, tapi juga benda
mati. Inilah nafas Kun, benih yang menghidupkan. Begitu pun aku. Barang mati
karena sakit ini.
Dan apa yang dilakukan wanita sepenuh semesta di hadapanku ini selanjutnya,
adalah mimpi semua lelaki dari masa paling purba. Termasuk, tentu saja,
penderitaan lelaki yang sepanjang sejarah kebudayaannya sambil berurai airmata
harus menindas perempuan karena inferioritasnya di hadapan perempuan. Wanita
ini membebaskanku. Menjadikanku lelaki sesungguhnya lelaki, memberi rasa bangga
dan penghormatan sesungguhnya. Menjadi manusia sempurna dalam inferioritasnya.
Ia meladeniku jauh lebih baik dari cara terbaikku untuk meladeninya. Ia
mengasihiku jauh lebih indah ketimbang cinta termulia yang kurasa dapat
kuberikan padanya. Ia melengkapi semua yang kosong seperti melesapnya air ke
celah rendah manapun yang ia lewati. Tanpa pamrih, apalagi prasangka. Aku
sungguh merasa menjadi lebih manusia, manusia-sempurna ketika ia membiarkanku
membaca, mengenali dan memahaminya lebih dalam.
“Ternyata kamu ada memang untuk menjadi bacaan terbaikku.”
Ia tersenyum.
“Menjadi pintu terbaik atau bahkan satu-satunya untuk memahami makna dari
semesta tak terkatakan ini.”
Ia memeluk.
“Eva…kamu bukan hanya potongan yang melengkapi, tapi memang kesempurnaan
Itu sendiri.”
Ia mencium.
“Eva…tetaplah di sini. Selamanya. Atau kau akan membuatku jadi puing hina,
sia-sia.”
Ia menggeluti seluruh inci dan saat hidupku, menciptakan kenyamanan yang
bahkan nyawa tak mampu membayarnya. Aku tak kuat menahan airmata untuk
kebahagiaan surgawi ini. Eva…kaulah surga sesungguhnya. Aku tak membutuhkan
lagi apel, buah apa pun, pohon apa pun, karena kau pohon dan buah itu yang
sebenarnya. Tolong, jangan renggut dirimu dariku, renggut aku dalam dirimu.
Ya Tuhan, mengapa Kau memberi nikmat yang begitu berlebih ini.
Jangan…jangan, Tuhan. Janganlah berlebih begini, karena pasti aku tak mampu menanggung
bayi yang pasti lahir dari surga yang kumiliki ini, yakni bayi kecemasan. Cemas
karena Kaulah yang menghadirkan dan meluputkan surga…Eva, wanita bagi semua
Adam ini.
“Eva…kamu dengar itu?”
Hmm…ia memagutku.
“Eva, dengar. Dengar ketakutanku itu?”
Hmmhh…ia merasuk ke seluruh celah kenikmatan dan menutup seluruh pandang.
“Eva…ehh…jangan kamu pergi…ok?”
Ia tak bersuara, seperti kebisuan perempuan mencipta peradaban manusia pada
intinya.
“Eva…ehhh…”
….
“Ehhh…ehhhh….”
Ya Tuhan, maaf…maaf, tak mampu aku menanggung kebahagiaan seperti ini.
Pluk… Ada tetes, ya airmata yang jatuh. Tapi bukan punyaku.
“Eva…”
Pluk…
“Kamu menangis?”
Langit basah, semesta pun samudera airmata.
“Mengapa…mengapa menangis?”
Ia hanya bisu. Tapi matanya seperti dulu. Dengan laut yang lebih dalam,
sehingga tak ada malaikat maupun iblis mampu menjangkaunya. “Eva….”
Aku tak tahu apa yang terjadi. Dengan muka yang kuyup…entah sedih atau
gembira seperti terlukis di bibirnya…wanita segala nabi itu seperti gambar yang
merabun menjelang magrib tiba. Menjauh.
“Mengapa…mengapa Eva?”
Ia tetap menjauh. Tangan tak menggapai, jiwa pun tak sampai. Kecemasan itu
bertamu selekas dan sekuat kepergian itu. Apa yang terjadi?
“Mengapa…mengapa, Tuhan?”
Aku ingin berteriak. Tapi Eva seperti lenyap juga sebagai nama. Berganti
ketakutan yang datang seperti kepepatan dimana satu elemen udara pun tak
tercipta untuk menghasilkan nafas. Semua terasa menghimpit dan sesak. Bahkan
airmata tak tersisa. Hanya sakit. Ya rasa “sakit itu”. “Sakit ini” pun bersatu.
Tuhan.
***
Gelap.
Dengan putus asa atau frustrasi yang begitu genap, aku memejamkan mata.
Menghilang pandang. Aku ingin buta. Aku buta. Aku tak perlu mata. Betapa hikmah
besar itu tak tertanggungkan dalam kekerdilan manusiaku. Gelap…cuma gelap yang
kita rasa mampu menghindari kita dari cemas dan takut yang luar biasa.
Namun kau pun paham. Itu sia-sia, tipudaya percuma. Gelap justru
mendatangkan cemas yang memalu hatiku kian pilu. Tuhan, betapa sakitnya. Betapa
sunyi dan sendirinya, sakit seperti ini. Kenapa gelap tak mampu menutupinya,
kenapa cahaya juga tak kuasa mengusirnya. Tuhan, apa mesti kuperbuat? Masihkah
aku membutuhkan mata. Mata mana lagi?
“Bukalah matamu, Adam.”
?
“Hei bukalah matamu!”
?!! Eva?
“Eva siapa? Buka matamu, jangan bersandiwara lagi. Eva siapa?”
Plak!
Aku merasakan sakit, kali ini di pipi. Pipi?
Plak, plak!
Ya, pipiku terasa perih, sakit bener, sehingga seperti refleks aku membuka
mata.
“Apa yang kamu pikirkan, lamunkan? Perempuan itu lagi? Eva sekarang,
namanya?”
Sekarang aku benar membuka mata, memandang. Dan sebuah pandangan di depan
menghadang. Pandangan kenyataan: seorang perempuan hampir empat puluhan, dengan
tubuh yang coba ia pelihara dengan baik. Tegak di depanku, dengan mata tajam,
berupaya lebih tajam dari pisau Swiss, tapi tak berhasil karena keluar negeri
manapun ia tak pernah.
Ya, aku kenali sekali siapa yang menghadang pandangku itu. Dia perempuan
yang puluhan tahun ini bersamaku. Istri, istilah umumnya orang. Perempuan yang
sudah memberi empat anak, dan menurut dia, membantuku untuk mendapatkan jabatan
sebagai general manager di perusahaan exim tempatku bekerja sekarang.
Ia sungguh memandangku dengan serius, dan sinarnya seperti cahaya LED TV
terbaruku, atau suratkabar, atau buku sejarah yang mengisahkan sejarah
perempuan dengan riwayat-riwayat dahsyat tapi mengalami penindasan permanen
oleh kebudayaan yang menurut mereka diciptakan lelaki. Dan aku adalah kumpeni
yang dilawan habis-habisan oleh keadaban padat dendam itu.
“Dik…”
“Tidak perlu dakdik dakdik…aku mau kamu jawab jujur saja…siapa Eva?”
“Aku gak tahu, Dik…gak ngerti.”
Plak!!
“Dik!”
Bibir perempuan itu tidak perlu monyong untuk cemberut atau marah. Tapi
monyongnya itu, yang ia sebut seksi, memang menjadi penggoda banyak pria saat
aku dulu coba memacarinya. Aku sukses. Ya menikahi dia. Menikahi sejarah masa
depan yang hampir membuatku menyesal menjadi lelaki.
Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti animasi yang berulang,
suara berdebam yang melewati tiga dinding tetangga akan menjadi musik pembuka
saat ia membanting pintu kamar tidur. Lalu seharian ia tidak keluar. Dan keluar
beberapa lama setelah aku keluar rumah menjalani general managerku.
Bila aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan mengenai “siapa Eva”, tragik
masa depan itu terjadi lagi, jadi semacam tradisi. Aku bangun menjelang subuh,
bebenah sendiri, membuat sarapan sendiri, makan sendiri, melap mobil sendiri,
memanaskannya, dan berangkat sendiri, tanpa satu pun bisa kusalami.
Sampai bila? Siapa bisa menerka. Karena hingga bila aku bisa menjawab
pertanyaan absurd itu: “siapa Eva”? Aku memang tak mengenalnya. Tahu atau ingat
pun tak. Hanya seolah ia bayangan yang sangat buram yang pernah menjadi bagian
ingatan dari kulit, daging, kepala, hingga mataku. Tapi siapa?
Sesungguhnya aku tidak berani mengorek lebih dalam lagi. Memang masih ada
getar aneh yang membuat kudukku meremang, seperti saat aku melihat Jennifer
Lawrence berakting atau Adele bernyanyi. Hanya ada satu perasaan gelap sembunyi
di situ, ketakutan mengerikan yang tak mampu aku tanggungkan. Apa? Siapa?
Mautkah jangan-jangan itu?
Aku tak berani spekulasi lebih jauh. Saat makan siang tiba. Aku membuka tas
dan mengeluarkan kotak plastik dimana udapan yang kumasak sendiri menjadi
pengisi lunch time-ku. Di meja general manager ini. Sendiri.
* Radhar Panca Dahana, terpilih
sebagai Tokoh Budaya dari Badan Bahasa, Kemendikbud RI serta dianugerahi harian
Kompas, Cendekiawan Berdedikasi. Buku-bukunya, Teater dalam Tiga Dunia (2013,
Jakarta: Kemendikbud), dan Manusia Istana (2015, Yogya: Bentang Pustaka), dan
Kebudayaan dalam Politik: Kritik pada Demokrasi (2015, Jakarta: Penerbit Mizan)
* source :https://lakonhidup.com/2017/03/12/saat-maut-batal-menjemput
Epilognya menarik... membuat penasaran. Good Luck and keep on writing! *Penikmat cerpen pinggiran.
BalasHapusTerima kasih atas kunjungan dan komentarnya rekan "Penikmat cerpen Pinggiran", tapi mungkin maksud anda prolog. i will go on with "living words".
Hapus