Menjadi pahlawan selalu diibaratkan
bahkan diidentikan dengan menjadi sosok PEMBELA, bagi yang lain. Karena MESTI
membela maka seorang pahlawan semestinya memiliki keunggulan tertentu sehingga
bisa melindungi orang yang dilindunginya. Lalu apa jadinya jika kita tidak
memiliki keunggulan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pahlawan? MENGUBAH:
watak dan karakter, itulah jawabannya; dan tentu saja hal itu bisa bermuara
pada represi--- dan represi merupakan wajah lumrah dalam dunia militer--- namun
kebanyakan masyarakat menyukainya dan juga menganggapnya normal ketika
orang-orang militer berlaku keras, acap kali kasar, menjadi yang terdepan ‘mungkin’
untuk membela Negara tetapi juga di SPBU, loket2 masuk stadion, pelabuhan dan
tempat-tempat pertunjukkan. Mereka tak kenal antri; karena mereka hanya mau
tunduk pada satu garis komando. Dengan alasan seperti itulah Pan Jenggo hendak “memiliterkan”
si Wayan Putra tunggalnya… karena ia banci. Mestikah Wayan menjadi pahlawan
bersepatu lars? Atau? Baca kelanjutan kisahnya dalam “JENGGO” cerpen buah
karya, Putu Wijaya.
lukisan hari budiono |
Putra tunggal Pan Jenggo mau masuk
ABRI. Pan Jenggo dengan bangga mengumumkan itu pada para tetangga. Ia sendiri
mengaku pernah gagal masuk ABRI karena matanya jereng sebelah.
”Maka Jenggo sekarang harus jadi
’balas dendam’ saya!” kata Pan Jenggo.
Tetapi, istrinya sendiri tak setuju.
Men Jenggo lebih sreg, Wayan Jenggo membantu jaga warungnya. Karena itulah
sumber utama nafkah keluarga.
”Saya sendiri sudah kena rematik,
susah untuk meneruskan ngurus warung. Sementara bapak kan seniman pengangguran
yang merasa berdagang itu pekerjaan jahat. Ia memang suka perang, tapi sebatas
nonton film. Sejatinya ia penakut. Itu sebabnya ia memaksa anaknya jadi
pahlawan.”
Men Jenggo lantas konsultasi ke Bu RT.
Meminta petunjuk bagaimana caranya supaya suaminya berhenti memaksa Jenggo
memanggul senjata.
”Saya setuju dengan Bu RT, menjadi
pahlawan itu bisa dengan banyak cara. Jaga warung sumber nafkah keluarga,
misalnya. Atau jadi warga yang baik, tidak ikut-ikutan narkoba. Kenapa harus
jauh-jauh mencari kepahlawanan kalau di depan mata saja sudah ada wadahnya?”
Bu RT langsung lapor suaminya.
”Saya heran, Pak, Jenggo itu kan
orangnya lemah-lembut. Jangankan berperang, bunuh nyamuk pun ia tidak mau,
kalau tidak terlalu perlu. Bagaimana bisa memanggul senjata, lihat, memanggul
pacul kalau masyarakat lagi kerja bakti saja, ia sering diketawain, karena
kelihatan kikuk!”
”Betul.”
”Kenapa Pan Jenggo mau anaknya jadi
tentara?”
”Supaya Jenggo jadi laki-laki sejati!”
”Maksud Bapak?”
”Aduh, ibu masak tidak tahu, Jenggo
itu kan banci!”
Bu RT tertegun.
”Jadi Pan Jenggo mau menterapi anaknya
supaya jadi laki-laki normal dengan memaksanya memanggul senjata?”
”Betul! Tapi mana mungkin banci
diterima jadi tentara!”
Bu RT menarik napas lega. Karena itu
berarti Jenggo akan selamat dan bisa jaga warung ibunya. Tetapi, setelah
berpikir, ia terkejut.
”Tapi, kalau Jenggo ditolak jadi
tentara, apa itu tidak akan membuat Pan Jenggo kecewa dan Jenggo sendiri
minder, Pak? Karena naga-naganya Nak Jenggo sendiri juga begitu bersemangat
akan bisa panggul senjata?!”
”Ya, itulah!”
”Kalau begitu, cepat dong temui Pan
Jenggo. Ajak ngomong, kasih masukan. Kasihan. Mereka kan keluarga baik-baik dan
cs kita!”
Pak RT tak menjawab. Tapi esoknya ia
menemui Pan Jenggo.
”Bagaimana? Jadi memasukkan Wayan jadi
ABRI, Pak?”
Beda dari sebelum-sebelumnya, Pan
Jenggo menunduk sedih. Ia tak bisa berbohong kepada Pak RT.
”Kelihatannya, tidak mungkin, Pak RT.”
”Kenapa?”
”Pak kan tahu sendiri. Anak saya Wayan
itu banci.”
Pak RT terkejut sekaligus trenyuh. Ia
tak menduga sahabatnya itu akan ngeceplos begitu blakblakan. Ia hampir tak tahu
harus bilang apa.
”Jadi batal?”
”Ya iyalah, daripada malu karena
ditolak, lebih baik mundur teratur. Kecuali kalau nanti dapat koneksi.”
”O, jangan. Dimulai dengan yang tidak
baik, hasilnya hanya akan remuk!”
Pan Jenggo termenung.
”Betul, hanya masalahnya Wayan sendiri
juga sudah ngebet sekali jadi tentara, Pak RT.”
Pak RT heran, nyaris tak percaya.
”Masak? Jenggo sendiri yang ingin jadi
tentara? Bukannya dulu Pak yang sudah mendesaknya?”
Pan Jenggo menghela napas panjang,
lalu menatap.
”Mula-mula memang begitu, Pak RT. Saya
ini kan lacur. Punya anak hanya satu, kok banci. Nanti siapa melanjutkan
keturunan? Saya terpaksa cari second opinion ke balian. Dia nyuruh saya
memasukkan Wayan jadi tentara, supaya jadi jantan. Istri saya yang pertama-tama
menentang. Saya tidak peduli. Eh, lama-lama dia menyerah juga. Entah konsultasi
dengan siapa, dia mendadak setuju dengan anjuran dukun. Dia izinkan saya
memaksa anaknya jadi tentara, supaya jadi laki-laki sejati. Sudahlah sekarang
terserah Bapak, saya pasrah, katanya. Mau diapain saja Wayan, yang penting
Wayan tidak ngambul, lari dari rumah seperti Sobrat itu. Istri saya berbalik
begitu mungkin karena melihat sekarang tidak ada kemungkinan Perang Dunia
Ketiga akan meletus. Jadi tidak ada bahayanya anak kami jadi tentara. Asal
nanti setelah jadi ABRI, Wayan harus ikut di barisan musik saja. Pegang alat
kecret-kecret asal-asalan juga tidak apa-apa, yang penting bukan bedil. Tidak
dibunuh dan tidak membunuh. Begitu, Pak.”
”Wah, ibu pintar juga, taktiknya!”
”Ya, saya jadi terharu juga. Baru
ingat, bahwa daripada jadi pahlawan tapi mati, anak semata wayang lebih baik
hidup, Pak RT. Meskipun nanti pangkatnya balok terus sampai tua, tidak
naik-naik karena tidak pernah ikut berperang. Tapi kemudian kembali ada
masaalah. Ada lagi yang bilangin saya, anak tunggal tidak diperkenankan masuk
militer. Betul itu, Pak RT?”
”Saya kira itu masuk akal.”
”Nah, itu bikin masalah baru.
Bagaimana kalau Wayan ketahuan anak tunggal? Terpaksa lagi saya putar otak,
lalu memutuskan: sebelum ditolak, lebih baik mundur teratur daripada
hancur-lebur. Tapi begitu saya mau mundur, istri saya marah, mendesak: Jenggo
harus masuk militer!!”
Pak RT kaget
”Masak?”
”Ya!”
”Kenapa?”
”Katanya, anaknya sendiri yang
menangis-nangis supaya diizinkan jadi tentara. Bahkan mengancam akan bunuh diri
kalau dilarang.”
Pak RT tertegun. Ia tak berani
melanjutkan percakapan. Merasa itu sebagai bagian dari misteri perempuan, ia
mendesak istrinya bertanya-tanya kepada Men Jenggo.
”Apa betul, Wayan mengancam akan bunuh
diri kalau dilarang masuk jadi tentara, Bu?”
Menurut Bu RT, betul.
”Sebenarnya saya juga mula-mula tak
percaya juga, Pak. Baru setelah Men Jenggo menunjukkan surat ancaman yang ditulis
Jenggo, saya percaya. Surat itu ditandatangani dengan cap jempol berdarah.”
Pak RT terperanjat.
”Cap jempol berdarah?”
”Ya.”
”Darah asli atau tinta merah atau
darah ayam?”
”Katanya darah asli tangan Jenggo
sendiri!”
”Katanya? Jadi surat ancaman itu, Ibu
tidak lihat sendiri alias hanya omongan Men Jenggo.”
”Tapi kata Men Jenggo, sudah pasti itu
darah Jenggo asli. Sekarang sebaiknya Bapak cepat bertindak. Orang begitu kan
susah dikendalikan kalau sudah emosi. Cepat, Pak, jangan sampai terlambat,
mereka kan warga kita.”
Akhirnya Pak RT langsung menemui
Jenggo. Ia tak merasa mampu bicara dengan ibunya. Karena dengan Jenggo, ia bisa
tembak langsung.
”Coba lihat jempolmu, Wayan.”
Jenggo menunjukkan jempol kanannya
yang ditensoplas. Pak RT mengangguk.
”Jadi betul kamu mengancam mau bunuh
diri kalau dilarang jadi tentara?”
Jenggo tak berani membantah.
”Betul, Pak.”
”Kenapa?”
”Saya ingin jadi pahlawan.”
Pak RT menahan tertawa.
”Pahlawan?”
Tiba-tiba suara Jenggo menanjak.
”Ya! Apa salahnya orang banci jadi
pahlawan?!!”
Pak RT betul-betul kaget. Tak menyangka
anak yang lembut itu bisa galak. Seakan kesabarannya telah habis. Hatinya yang
tampak luluh membuat Pak RT sedih.
Protes Jenggo, lamat-lamat bagai salak
anjing di kejauhan di malam sepi. Tak berdaya. Tak ada yang peduli. Tapi, itu
justru menimbun simpati. Entah sudah berapa tebal marah, tangis, rasa terhina
yang ditahan-tahannya.
Beberapa lama Pak RT membisu. Ia tak
mampu menggoyang keharuannya. Sebab ia kenal Wayan sejak bayi. Anaknya lucu,
manis, dan baik budi. Kini ia sudah mulai terluka oleh lingkungan yang tak bisa
menerimanya.
Akhirnya Pak RT minta maaf.
”Maaf Wayan, bukan itu maksud, bapak.
Tidak seorang pun berhak melarang siapa pun yang ingin menjadi pahlawan. Kalau
itu memang cita-citamu, itu cita-cita yang luhur. Kejarlah, berjuanglah dengan
seluruh jiwa-ragamu jadikan kenyataan. Berhasil atau gagal itu bukan masalah. Berjuang
habis-habisan itulah makna kepahlawanan yang sesungguh-sungguhnya!”
Jenggo menundukkan kepalanya seperti
terlalu berat. Bibirnya bergetar.
”Kenapa anak tunggal ditolak jadi
tentara, Pak RT”
Pak RT tak bisa menjawab.
”Apalagi banci!!!?”
Suara Jenggo bergetar perih.
”Banci tidak mungkin jadi pahlawan,
Pak RT! Orangtuaku sudah salah kaprah!”
Tiba-tiba Jenggo menarik belati yang
disembunyikan di pinggangnya. Pak RT tersirap.
”Wayan, jangan!”
Terlambat. Jenggo sudah mengayunkan
belati itu, menikam tangan kirinya. Trak! Mantap betul. Di balik tubuhnya yang
lembut itu ternyata tersimpan tenaga lelaki sejati.
Pak RT menjerit dalam hati sambil
memejamkan mata. Ia merasakan darah tumpah mengguyur meja.
Ketika Jenggo mengisak Pak RT memaksa
matanya terbuka. Belati itu menembus meja, di antara telunjuk dan ibu jari
Jenggo. Tidak ada darah.
Pak RT mengusap dada. Waktu Jenggo
menarik kembali belati dari meja, seperti hendak mengulang menikam, Pak RT
langsung memeluk.
”Jangan, jangan. Bapak mohon, jangan!
Jangan!”
Jenggo bersikeras hendak mengulangi
tikamannya. Pak RT akhirnya membentak.
”Jangan!!!!”
Suara keras dan tegas Pak RT membuat
Jenggo senyap. Pak RT terus menyerang dengan beringas.
”Tidak ada orang berhak memaksa orang
lain, anak kandungnya sendiri sekalipun, untuk jadi pahlawan! Siapa bilang kamu
bukan pahlawan? Setiap orang adalah pahlawan untuk dirimu sendiri, tahu?!!”
Jenggo menangis.
”Tahu?!!”
Jenggo terisak-isak.
”Jenggo!! Kamu tak perlu jadi pahlawan!
Kamu sudah pahlawan, ngerti?!!”
Jenggo mengangkat mukanya. Bibirnya
gemetar. Sambil bercucuran air mata ia berbisik.
”Pak RT, tolong bilang pada
orangtuaku, aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku tidak mau jadi pahlawan! Biar
aku begini saja. Aku sudah cukup!!”
Jenggo menelungkup, seperti memasukkan
tangisnya ke meja. Perlahan-lahan dan lembut, Pak RT mengambil belati di tangan
Jenggo, lalu mengungsikannya keluar.
”Ada apa, Pak?” sapa Bu RT, menegur
suaminya yang pulang membawa belati.
Pak RT tak menjawab. Ia menyimpan
belati itu ke kotak berisi beberapa senjata tajam, yang sebelumnya ia lucuti
dari beberapa pemuda yang lain.
Subuh esok harinya, ketika keluar
rumah hendak menyiram kebun, Pan Jenggo muncul. Ia menyapa Pak RT dengan ramah.
”Pak RT, Wayan sudah bulat tekadnya
sekarang. Ia bilang ia sudah meyakini mau jadi pahlawan. Tapi saya pikir-pikir
lagi, bukan hanya dia, saya juga harus jadi pahlawan.”
Pan Jenggo mengulurkan tangan untuk
bersalaman. Pak RT menyambut heran. Ia baru melihat Pan Jenggo memakai seragam
Go-Jek ketika mendorong motornya ke jalan.
Subuh masih terlalu muda. Langit belum
merah, banyak orang masih tidur. Tapi ada suara klatak-klitik di samping. Waktu
Pak RT menoleh, tampak Jenggo mulai buka warung. Kehidupan rupanya sudah
bergerak.
Selamat hari Sumpah
Pemuda 28 Oktober 2015
Cerpen di atas adalah buah karya Putu Wijaya, PIMR hanya mengarsipinya secara digital dalam blog ini.
Anda bisa mengunjungi sumber aslinya di bawah ini
http://print.kompas.com/baca/2015/10/25/JENGGO
Yang lainnya:
kenapa wayan tidak mencalonkan diri jadi anggota dpr saja. Anggota DPR banyak yang banci--- banci untuk omong soal kepentingan rakyat... tetapi jantan untuk makan uang rakyat. aku
BalasHapus