Kita berada karena
cinta tetapi kita tidak pernah menghendaki untuk mencintai. Ia tiba-tiba datang
dan kita “terlempar di dalamnya”. Waktu, situasi yang merancang terjadinya
jalinan cinta. Entah ia (cinta) sudah tertanam di dalah hati dan jiwa ketika
kita dijadikan, entah dia (cinta) bayang-bayang yang berkelebat yang tiba-tiba
merasuki diri kita, kita tertarik karena cinta dan dipersatukan karena cinta.
Apakah cinta sejati
lekang dimakan usia dan berubah seiring perubahan? TIDAK…karena cinta tak
berasa, cinta tak berbentuk, bahkan ketika “cangkang” tempat persemayaman cinta
berubah, ia-cinta tidak berubah- pun ketika kekasih jiwaku menjadi seekor
komodo ganas..aku tetap mencintainya.
Ikuti kisah lengkap
pengembaraan mencari cinta yang berjarak zaman dan berbatas bentuk, dalam “Cintaku
Jauh di Komodo” buah karya Seno Gumira Ajidarma 12 tahun silam.
Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.
Gambar:ilustrasi
Aku mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan,
tapi aku hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu
sendiri, karena sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta
kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada
dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali
lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali
abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah
sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan
terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara,
tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap
terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau
padaku?
Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling
mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang
diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat
menembus segala tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang
bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan
kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelebat seenak
udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel
seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi
pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial,
lantas berbeda agama pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun
kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk
tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali
masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang
akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.
Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk
menyatu kembali, ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang
terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja
diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud
harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah
pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat
membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira,
hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni
cinta yang dahsyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa
kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah
membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan
luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk
tidak dilayani.
Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan
saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa
mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir
sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir
kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan.
Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir
berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada
memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan
jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru
itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa
mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo?
Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka
sebetulnya tidak bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan
kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah
dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau
Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah besar, karena
telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar
telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku
dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak
gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku
tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga
dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai
komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku
berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku
datang ke pulau itu untuk mencarinya.
Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir
kembali dengan berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku
baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah
dilakukan kekasihku, dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai
komodo? Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai
seekor komodo? Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya,
bagaimanakah caranya ia akan mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku
tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam
apartemenku di Jakarta. Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas
nama cinta, apakah yang masih bisa kulakukan untukmu kekasihku?
Ketika akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering
berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua
hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor
komodo yang kuyakini sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo
jantan.
Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para
petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang
malam tanpa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil
menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo
jantan yang pernah memakan anak gadis itu.
Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika
kulihat ia merayap ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih
bisa kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya
masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat
sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira
ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha tetap
mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta
yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan
dipercaya begitu rupa sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta
ternyata mengenal wujud-meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku,
dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya
seperti aku mencintai kekasihku….
Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di
hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah
masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat
memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih bahagia jika
menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot
masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan
kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.
Labuan Bajo, Juli 2003
* Judul ini mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau
(1946).
1. Ingatan terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya /
cintakah kau padanya dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal 75.
2. Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai
tiga meter dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau
Komodo, dengan jumlah sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di
Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya
belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi
pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh PA Ouwens,
kurator Museum Zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, “Introduction” dan “Enter the
Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs” dalam Kal Muller, East of Bali: from
Lombok to Timor (1997), hal 111-114.
3. Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang
bocah lelaki pada 1987, namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan
dengan Pulau Komodo, dalam Muller, ibid., hal 111-2.
4. Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di
pulau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo
sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan
Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram.
5. Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss
berusia 84 tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang
tertinggal hanyalah tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op. cit., hal
112.
Cerpen di atas adalah buah karya Seno Gumira
Ajidarma. PIMR hanya mengarsipinya secara digital dalam blog ini.
Anda bisa mengunjungi sumber aslinya di bawah ini.
https://cerpenkompas.wordpress.com/2003/08/17/cintaku-jauh-di-komodo/#more-571
Lainnya
Cinta sejati itu abadi. Pencinta
BalasHapus