awal mula pembagian tanah ulayat warga manggarai yang menghasilkan kontur seperti jaring laba-laba* |
Spider web atau yang lainnya
menyebut spider field (sawah laba-laba) sudah menjadi salah satu icon
pariwisata di Manggarai. Betapa tidak wisatawan manca negara maupun wisatawan lokal
yang mengunjungi manggarai sudah hampir pasti menyempatkan diri ke lingko cara
yang ada di cancar sekadar untuk mengambil gambar ataupun untuk trekking dan
hiking. Kontur sawah yang tertata seperti jaring laba-laba menjadi panorama
indah menyedot energy estetis penikmat pesona alam untuk tidak berhenti
memandang. Tetapi apakah anda tahu kalau dalam pemandangan indah yang
ditampakan “jaring laba-laba” itu termuat berbagai ritus adat yang sarat makna
dan symbol.
Beberapa waktu lalu tim humaspro
kabupaten Manggarai berhasil mengabadikan proses lahirnya cetakan “sarang
laba-laba” itu dalam ritus pembagian lingko Gendang
Nampo, Desa Golo Woi Kecamatan Cibal melalui tulisan di websitenya. Setelah
mendapat persetujuan dari Tim Humaspro Kabupaten Manggarai PIMR pun memposting
ulang dalam blog ini agar lebih banyak orang memahami proses terjadinya pembagian
tanah ulayat dengan kontur seperti sarang laba-laba.
Mari kita ikuti catatan
tim humas dan protokol kabupaten Manggarai dalam reportasinya ihwal pembagian
lingko bertajuk "Unik! Begini Proses Pembagian Lingko Berbentuk Jaring Laba-laba di Manggarai berikut ini
Proses
membagi lahan pertanian pada masyarakat Manggarai terbilang unik. Dengan
bentuknya yang kita kenal saat ini menyerupai jaring laba-laba bundar dan
dengan pusat yang disebut lodok hingga ke batas terluar yang disebut cicing.
Bentuk yang unik ini sudah terjaga dari generasi ke generasi.
Pembagian
lingko berbentuk jaring laba-laba itu, tentu bukan soal membagi lahan
semata. Ada proses (yang ternyata cukup rumit) yang harus dilalui bagian demi
bagian yang melibatkan arwah para leluhur. Mesti juga melewati beberapa ritus
utama.
Beberapa
ritus inilah yang akan hadir dalam tulisan ini agar tradisi pembagian lahan/lingko
dalam bentuk jaring laba-laba—yang saat ini telah menjadi tempat destinasi
wisata, seperti Lingko Meler di Kecamatan Ruteng—dikenal luas.
Acara
ini ditandai dengan ritus Tente Teno, di mana sebatang kayu menyerupai
lesung diletakkan pada pusat lodok sebagai episentrum pembagian lahan
menuju cicing.
Ritual
Penghormatan Leluhur
Saat
kami menyambangi tempat tersebut, masyarakat adat setempat mengawali seluruh
rangkaian acara dengan sebuah ritus penghormatan kepada arwah para leluhur yang
dilaksanakan di pekuburan umum Gendang Nampo. Ritus ini bertujuan untuk
menghadirkan kembali roh nenek moyang pada saat pembagian lahan.
Selanjutnya
roh para leluhur tersebut yang diyakini telah ada bersama dengan masyarakat,
diundang menuju rumah gendang dalam ritus pemberian sesajian atau yang disebut Teing
Hang. Sebelum acara ini berlangsung, Tu’a Teno Benediktus Apon
melakukan ritus penerimaan adat atau Kapu dengan menggunakan sebutir
telur kampung yang dilakukan di atas Compang atau mesbah sesajian.
Bahasa setempat menyebutnya dengan Lumpung.
Acara
kemudian berlanjut di dalam Mbaru Gendang, di mana Tu’a Teno
menghadirkan seluruh masyarakat adat atau Golo dalam acara pemberian
sesajian. Acara ini juga digunakan sebagai rapat awal atau yang disebut dengan Reke
Lodok. Rapat ini menentukan Rembo, yang ikut dalam pembagian lingko.
Rembo adalah semacam hak dari setiap panga untuk mengambil bagian dalam Lodok Lingko.
Pada
rapat yang sama juga disepakati siapa yang mengambil bagian dalam Sor Moso
atau acara pembagian lingko. Biasanya setiap Panga sudah
mengetahui siapa dari keluarganya yang akan membutuhkan lahan.
Nah,
bagi orang lain di luar wa’u (klan) atau yang disebut ata long
(pendatang) tapi tinggal di golo dan ingin mengambil bagian dalam sor
moso, maka dia akan mendekati Tu’a Teno dengan membawa seekor ayam
dan sebotol tuak atau yang disebut dengan istilah Kapu Manuk Lele Tuak.
Tente
Teno Menandai Dimulainya Pembagian Lingko
Sebelum
menuju lokasi pembagian Lingko, masyarakat gendang Nampo melakukan sebuah ritus
adat Wu’at Wai. Ritus ini merupakan cara masyarakat setempat untuk
meminta kepada roh leluhur untuk merestui perjalanan mereka menuju lokasi
pembagian lingko. Ayam berwarna putih sebagai hewan korban. Ujud doa
disampaikan oleh petutur yang juga bertindak sebagai Tu’a Teno.
Tenten teno: Kayu Teno ditancapkan di tengah lingkaran yang menjadi pusat pembagian tanah |
Usai
ritus adat tersebut, segenap anggota keluarga dalam satu golo yang akan
menuju lokasi, lebih dahulu melakukan ritus mengelilingi lumpung atau
mesbah sesajian yang berada di Mbaru Gendang. Ritus penghormatan compang
ini disebut dengan Lilik Compang — dengan berputar ke arah kiri. Selepas
Lilik Compang kemudian berlanjut menuju lokasi dengan diiringi bunyi
pukulan gong. Jalur menuju lokasi adalah jalan yang selalu dilewati oleh para
leluhur jaman dulu atau yang disebut dengan Salang Ceki.
Sesampai
di lokasi, hal pertama yang dibuat adalah menentukan lokasi mesbah sesajian
atau lumpung. Ritus pemberian sesajian pun dimulai dengan sebutir telur
ayam kampung yang ditempatkan di atas kayu yang ditancapkan ke tanah.
Selanjutnya,
Tu’a Teno ke beberapa lokasi lingko yang akan dibagi. Pembagian lingko
pun dimulai dengan acara Tente Teno, yaitu menancapkan kayu yang bernama
Haju Teno ke lubang yang telah digali sebelumnya dan persis terletak di
pusat lingko. Dari Haju Teno itulah nanti akan ditarik garis
jari-jari lingkaran yang kemudian menjadi batas antar kebun (langang).
Namun,
sebelum kayu ditancapkan, Tu’a Teno akan memegang sebutir telur ayam
mentah dan mengucapkan sebuah doa harapan kepada Tuhan dan nenek moyang agar
memberikan rejeki yang melimpah kepada masyarakat yang menggunakan lahan
tersebut nantinya.
Telur
ayam ini akan disimpan di dalam lubang di mana Haju Teno ditancapkan.
Sesudah lubang ditutup dengan tanah, di sekeliling teno akan ditancapkan
kayu-kayu kecil yang disebut Lance Koe. Pada lance inilah akan
diikat tali (wase). Banyaknya tali tergantung jumlah panga dalam satu
golo. Di luar lance itu akan dibuat langang.
Kesepakatan
pembagiannya dilakukan pada saat Tente Teno. Ukuran yang lebih besar
diberikan kepada Tu’a Teno dan keluarganya dengan diukur menggunakan
empat jari tangan atau moso atau yang disebut dengan Lide Rembo.
Sedangkan bagi keluarga lainnya menggunakan tiga jari, dua jari maupun satu
jari atau yang disebut dengan lide lance.
Sebagaimana
diketahui bahwa Lodok adalah pusat lingko, areal kebun atau sawah
yang berbentuk bundaran. Lingko ini adalah semua tanah yang dimiliki
satu wa’u (kumpulan beberapa klan) di dalam satu golo, atau yang
disebut dengan tempat pemukiman warga kampung. Karena itu, lingko ini
bukanlah milik pribadi, tetapi milik wa’u yang tinggal di satu golo
saja.
Usai
membagi, para pemilik lahan yang telah dibagikan itu langsung mengerjakan lahan tersebut untuk ditanami dengan berbagai macam tanaman pertanian.
Menurut
rencana, pada musim penen nanti masyarakat gendang Nampo akan kembali berkumpul
untuk melaksanakan syukuran tahunan yang disebut Penti Weki Peso Beo. Seekor
kerbau jantan akan menjadi hewan kurban dalam acara syukuran tahunan tersebut.
Tim
Humaspro Manggarai
* gambar ini bisa menjadi ilustrasi awal mulanya lingko (hamparan lahan baik lahan kering maupun sawah yang berbentuk jaring laba-laba).
Tulisan asli dipublikasikan pada Humaspro manggarai
Tulisan asli dipublikasikan pada Humaspro manggarai
Reportasi yang memperkaya wawasan
BalasHapus