Ritus Teing Hang (foto: gws) |
PIMR-Ruteng
Menjelang akhir tahun banyak
keluarga di Ruteng mengadakan upacara Teing Hang. Ritus yang sarat dengan
symbol ini merupakan kearifan lokal masyarakat manggarai yang masih terpelihara
dengan baik. Dari pantauan PIMR sejak tanggal 20-an Desember sudah banyak
keluarga yang mengadakan upacara Teing Hang di rumahnya masing-masing.
Alasan dari beberapa keluarga yang memilih membuat upacara Teing Hang lebih awal berfariasi. Ada yang ingin agar pada akhir tahun (31 desember-red) mereka hanya berfokus pada detik-detik pergantian tahun. Alasan lainnya agar mereka bisa mengikuti upacara yang sama di dua keluarga besar yang tentu saja dibuat pada malam yang berbeda. Alasan ketiga yang perlu mendapat perhatian adalah karena semakin berkurangnya tokoh adat yang mempunyai keahlian membawakan torok dengan rima/goet adat. Karena itu kalau semua acara Teing Hang dibuat pada tanggal 31 Desember bisa jadi ada keluarga yang tidak kebagian jadwal. Tentu saja hal ini harus mendapat perhatian serius dari para pelaku adat (semua masyarakat maya-red) agar pemimpin upacara teing hang ini tidak tetap eksis di tahun-tahun mendatang. Memang orang yang berkemampuan untuk membawakan goet adat adalah orang-orang khusus tetapi mungkin dipikirkan juga agar ada upaya semacam kaderisasi di tiap rumah gendang bagi pemuda-pemuda yang berminat. Dengan demikian ada pewarisan keahlian secara turun temurun.
Alasan dari beberapa keluarga yang memilih membuat upacara Teing Hang lebih awal berfariasi. Ada yang ingin agar pada akhir tahun (31 desember-red) mereka hanya berfokus pada detik-detik pergantian tahun. Alasan lainnya agar mereka bisa mengikuti upacara yang sama di dua keluarga besar yang tentu saja dibuat pada malam yang berbeda. Alasan ketiga yang perlu mendapat perhatian adalah karena semakin berkurangnya tokoh adat yang mempunyai keahlian membawakan torok dengan rima/goet adat. Karena itu kalau semua acara Teing Hang dibuat pada tanggal 31 Desember bisa jadi ada keluarga yang tidak kebagian jadwal. Tentu saja hal ini harus mendapat perhatian serius dari para pelaku adat (semua masyarakat maya-red) agar pemimpin upacara teing hang ini tidak tetap eksis di tahun-tahun mendatang. Memang orang yang berkemampuan untuk membawakan goet adat adalah orang-orang khusus tetapi mungkin dipikirkan juga agar ada upaya semacam kaderisasi di tiap rumah gendang bagi pemuda-pemuda yang berminat. Dengan demikian ada pewarisan keahlian secara turun temurun.
Gws
Untuk melengkapi wawasan kita saya
mengambil refleksi teologis-antropologis dari Fabianus Selatang yang dimuat di
blognya tahun 2010 lalu.
silahkan buka jendela di bawah ini untuk membaca
TEING HANG KEPADA ARWAH NENEK MOYANG
DAN SUMBANGANNYA TERHADAP KEBUDAYAAN NASIONAL
(Sebuah Analisis Kritis Atas Kearifan Lokal Budaya Manggarai)
By Fabianus Selatang
I. Pengantar
Setiap daerah atau tempat mempunyai kekhasan budaya. Budaya yang dianut disuatu tempat tentu mempunyai makna dan nilai serta pesan moral etisnya masing-masing. Nilai dan maknanya hanya mungkin kita pahami dan mengerti apabila kita masuk dalam budaya tersebut atau paling kurang menimba percikan-percikannya melalui dan dalam penghayatan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dewasa ini, rasionalitas (cara berpikir kritis) menguasai alam pemikiran manusia. Segala sesuatu selalu didasarkan dan dibangun dalam sebuah konstruksi pikiran yang logis dan masuk akal. Pisau bedah untuk membuktikan kebenaran sesuatu adalah rasio. Apa-apa yang bisa dijelaskan dengan rasio itulah yang dapat diakui dan diterima oleh manusia. Oleh karena itu, rasio mejadi patokan kebenaran. Segala sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dengan sendirinya ditolak atau dipertanyakan. Jadi, rasio menduduki tingkat paling atas dalam tatanan hidup manusia. Apakah rasionalitas mampu menjelaskan kedudukan upacara Teing Hang?
Te’ing Hang adalah salah satu kearifan lokal budaya manggarai. Masyarakat Manggarai mengamini dan percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang masih hidup, sehingga tetap membangun relasi dengan mereka yang telah meninggal. Pernyataan di atas menjadi kebenaran yang mendasari penghormatan kepada arwah nenek moyang secara khusus dalam upacara Teing Hang. Upacara Teing Hang hampir pasti ada di setiap daerah, agama, suku. Akan tetapi, caranya yang mungkin berbeda. Namun, yang menjadi persoalan adalah mengapa harus diberi makan atau Teing Hang? Apakah ini sebuah bentuk penyembahan berhala? Ketika orang mendengar kata Teing Hang mungkin yang terlintas dalam pikiran mereka adalah sebuah bentuk praktik penyimpangan terhadap agama.
Kajian terhadap problematis di atas secara rasional barangkali dapat melahirkan sikap skeptis terhadap bentuk budaya seperti ini. Dalam tulisan ini, penulis berusaha sedapat mungkin mengkaji dan menggeledah serta membutikan semua asumsi di atas.
II. Teing Hang Kepada Arwah Nenek Moyang
2.1. Arti FrasaTeing Hang
Teing Hang terdiri atas dua kata. Teing artinya memberi. Hang artinya makanan. Jadi, frasa Teing Hang berarti memberi makanan. Yang dimaksud di sini ialah Teing Hang kepada arwah nenek moyang yang telah meninggal. Teing Hang merupakan salah satu kearifan lokal budaya Manggarai. Budaya Teing Hang tentu saja sudah lama dipraktikan di Manggarai dan sudah mendarah daging dalam diri masyarakat orang Manggarai. Yang mendasari upacara Teing Hang ini adalah karena adanya sebuah keyakinan dan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Keyakinan dan kepercayaan ini sejalan dengan iman Kristiani. Dengan demikian, upacara Teing Hang tidak terlepas dari iman Katolik. Pratik keagamaan yang berpusat pada penghormatan, cinta dan kenangan akan para leluhur sudah berumur setua iman akan Allah.
Dalam upacara seperti ini harus ada hewan korban. Umumnya binatang yang dikorbankan adalah ayam, babi, kerbau, atau kambing. Setelah hewan korban disembelih maka diambil sebagian dari bagian-bagian tertentu dari hewan korban itu misalnya hati, dada dan kepala. Setelah dibakar ketiga bagian dari hewan korban itu, dagingnya diiris lalu dicampur dengan nasi. Orang yang memimpin upacara ini memanggil roh nenek moyang dan memberikan nasi dan air, seperti layaknya memberi makan manusia yang masih hidup. Sejenak kita mungkin berpikir apakah ini tidak berlebihan? Kita bisa menjawab, tidak. Tidak. Upacara Teing Hang bukan hal yang berdiri sendiri dari iman. Upacara Teing Hang justru lahir dari iman akan Allah yang hidup.
Konteks upacara ini dilasanakan. Upacara Teing Hang ini dilaksanakan dalam berbagai konteks, bentuk dan dengan tujuan tertentu. Misalnya saat membuka kebun baru, penti , wu’at wa’i , penutup tahun dan pembuka tahun yang baru dan seterusnya. Meskipun konteksnya berbeda, tetapi makna, tujuan dan isi dibalik upacara Teing Hang tetap sama yakni menghormati para leluhur dan memohon perlindungan kepada Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa) melalui para leluhur. Isi permohonan ini akan kita lihat dalam uraian selanjutnya dan secara jelas kami akan memperlihatkan hal ini melalui goet (ungkapan) khas Manggarai dalam upacara Teing Hang.
Di atas telah dikatakan bahwa dalam upacara Teing Hang selalu ada hewan korban dan dari hewan korban itu diambil tiga bagian tertentu. Pertanyaan yang patut dilontarkan di sini adalah mengapa hanya mengambil tiga bagian tertentu dari hewan korban itu? Apa maknanya? Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab. Apalagi tidak ada sumber tertulis yang menerangkan dan menjelaskan hal itu. Namun, penulis menggali informasi mengenai hal itu melalui tradisi lisan yang pernah dilihat dan dialami selama ini.
Pertama, orang Manggarai menyakini bahwa ketiga bagian itu mewakili keseluruhan dari binatang yang dikorbankan itu. Ketiga bagian itu merupakan simbol penyerahan yang total dari pihak keluarga yang menyelenggarakan upacara. Bahwa binatang itu adalah ciptaan Tuhan. Binatang itu hanya dititip kepada manusia untuk dipelihara. Maka, sekarang pun binatang itu diserahkan semuanya kepada Tuhan. Tidak satu bagian pun yang dinikamati oleh manusia yang memeliharanya. Semuanya diberikan kepada Tuhan. Jadi, ketiga bagian yang diambil dari binatang korban itu mengandung makna simbolis.
Kedua, dalam tradisi orang Manggarai apabila ada tamu penting yang berkunjung ke suatu keluarga, hewan yang disembelih dan yang disajikan kepada tamu tersebut harus lengkap, tidak boleh ada yang kurang. Dengan ini pihak keluarga yang menerima menunjukkan rasa penghormatan yang mendalam kepada tamu tersebut dan melayani tamu tersebut dengan sepenuh hati. Tradisi lisan ini entah secara langsung atau tidak langsung juga ikut memengaruhi konsep upacara Teing Hang arwah nenek moyang. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa binatang yang dikorbankan diserahkan seluruhnya kepada arwah nenek moyang. Meskipun dalam praktiknya hanya diambil ketiga bagian seperti yang disebutkan di atas, tetapi makna dibalik itu sangat mendalam. Jadi, ungkapan simbolis ketiga bagian dari binatang yang dikorbankan itu adalah sebuah penyerahan diri yang total dan seutuhnya.
2.2. Teing Hang: Suatu Ungkapan Penghormatan
Upacara Teing Hang merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang. Masyarakat Manggarai menyakini bahwa kendatipun nenek moyang tidak tampil secara lahiriah, tetapi mereka tetap ada bersama mereka yang masih hidup. Upacara Teing Hang ini bukan sekedar ritual belaka atau karena menjadi kebiasaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun. Masyarakat Manggarai sungguh-sungguh percaya bahwa di balik upacara Teing Hang kepada arwah nenek moyang terungkap suatu credo atau pengakuan dan kepercayaan kepada Wujud Tertinggi yang disebut Mori(n) Kraeng yang telah memberikan nafas kehidupan kepada manusia. Sehingga dalam setiap upacara Teing Hang nama Morin Kraeng selalu disebutkan pertama. Namun, penyebutan nama Morin Kraeng bukan hanya bertujuan untuk mengelabui orang lain sehingga tidak menilainya sebagai sebuah praktik penyembahan berhala, melainkan sungguh-sungguh lahir dan tumbuh dari kesadaran bahwa hakikat penghormatan kepada arwah nenek moyang atau para leluhur tidak pernah terlepas dari Morin Kraeng.
Sebagaimana dalam upacara ini ada perantara yang bisa berkomunikasi denga arwah para leluhur, demikian pula upacara Teing Hang menjadikan arwah nenek moyang menjadi perantara kepada Morin Kraeng. Dalam upacara Teing Hang biasanya salah seorang dipercayakan untuk menjadi pemimpin. Dia yang mengucapkan kata-kata adat atau goet dalam bahasa Manggarai. Orang yang dipercayakan untuk memimpin acara ini bukan orang sembarang, melainkan orang yang sungguh dihormati dalam suatu kampung atau mempunyai peran penting dalam sebuah suku atau orang yang dituakan karena pandai merumuskan dan merangkai kata-kata adat. Dialah perantara yang bisa berhubungan dan bisa berbicara dengan roh nenek moyang.
2.3. Mori (n) Kraeng
Upacara Teing Hang selalu digandengkan dengan Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa), maka baiklah kita menjelaskan bagaiman konsep Morin Kraeng sebagai Wujud Tertinggi dalam kaitannya dengan upacara Teing Hang. Di sini kita membedakan kata Mori dan Morin. Kata Mori (dalam pelbagai dialek Muri) berarti tuan, pemilik, penguasa, ketua. Seorang atasan bisa dipanggil mori. Kata ini bisa juga dipakai sebagai sebutan manja kepada anak-anak. Jadi, tidaklah secara ekslusif dipakai mengenai atau terhadap Tuhan. Namun, jikalau kata Morin dipakai tanpa menambahkan kata penentu jadi berarti “Tuhan Tertinggi”. Kata morin yang ditambah dengan kata penentu misalnya dalam frasa morin jarang hitu berarti ‘si pemilik kuda itu’. Dengan adanya akhiran (n) Mori dan tanpa diikuti kata penentu menjadi nama Allah yang paling lazim dipakai di Manggarai yang menunjukkan hubungan antara Allah dengan yang tunggal khususnya alam semesta termasuk manusia. Dari konsep Morin Kraeng di atas menjadi jelas bahwa upacara Teing Hang selalu terkait dengan Allah yang menciptakan manusia dan juga mengandung nilai penghormatan kepada Allah.
Upacara Teing Hang membidani kesadaran orang Manggarai bahwa hidup ini tidak hanya berakhir dengan kematian. Dengan adanya penghormatan kepada arwah nenek moyang khususnya melalui upacara Teing Hang, hubungan manusia dengan Tuhan semakin dekat dan mendalam. Allah dekat dengan manusia sebagaimana orang Manggarai menganggap roh atau arwah nenek moyang dekat mereka.
2.4. Teing Hang Sebuah Penyembahan Berhala atau kepercayaan?
Setelah kita melihat arti kata Teing Hang dan maknanya serta konsep Morin Kareng dalam budaya Manggarai di atas, maka kita perlu melihat pendasaran mengenai hal itu dengan menelisik kepercayaan atau sistem religi orang Manggarai. Hal ini penting untuk melihat dasar adanya penghormatan melalui upacara Teing Hang kepada arwah nenek moyang.
Pertama-tama harus dikatakan bahwa dalam masyarakat Manggarai, satu bentuk tradisi keberagamaan yaitu agama lokal dan yang sering dilakukan adalah acara Teing Hang. Acara Teing Hang dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai yang beragama lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal yang diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Artinya memiliki kekuatan-kekuatan yang melampaui segala hal yang bisa diindrai. Upacara ini kadang dilakukan oleh masyarakat yang beragama lokal di Manggarai di bawah pohon besar (langke), batu besar dan mata air/temek untuk mempersembahkan kepada arwah nenek moyang atau leluhur yang menjaga benda-benda tersebut dan diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Dengan adanya praktik keagamaan seperti ini, maka ada anggapan bahwa masyarakat Manggarai adalah agama kafir dan berkepercayaan anismis.
Namun, anggapan ini merupakan suatu kesalahan. Pemberian nama “animis” terhadap orang Manggarai yang menganut sistem religi asli dengan maksud agar tidak disebut ‘kafir’. Penyebutan atau pemberian nama ‘animis’ ini sungguh menyesatkan. Padahal aktivitas religi asli orang Manggarai adalah “monoteis implisit” sebab dasar religinya menyembah Tuhan Maha Pencipta (dalam ungkapan manggarai “Mori Jari Dedek, Ema pu’un Kuasa), walaupun terdapat praktik penyembahan selain di ‘compang’ (rumah adat, mesbah untuk sesajian). Mesbah juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dianggap angker dan suci. Jadi, Teing Hang bukan penyembahan berhala melainkan lahir dari keyakinan agama asli Manggarai.
Istilah ‘monoteis implisit’ secara jelas terungkap dalam doa-doa atau ungkapan khas Manggarai. Pemahaman terhadap setiap doa yang diucapkan dalam suatu upacara tradisi memberikan tempat pertama dan utama kepada yang disembah yakni “Morin agu Ngaran Bate Jari Agu Dedek” (Tuhan Sang penguasa, pemilik yang Menjadikan dan Menciptakan). Dalam setiap upacara adat orang Manggarai tempat pertama yang diberi sesajian adalah arwah leluhur (nenek moyang).
Dibalik upacara Teing Hang kepada arwah leluhur ini, orang Manggarai sungguh-sungguh percaya bahwa ada Morin (Tuhan) yang menciptakan leluhur. Dalam ungkapan orang Manggarai yakni “ Morin Wura atau Morin Andung atau Morin agu Ngaran Bate Jari agu Dedek, Hia Te Pukul Parn awo kolepn sale, Ulunle wa’i lau, Tanan wa awang eta” (artinya Tuhan Maha Pencipta atau Tuhan Sang Penguasa yang Menjadikan dan menciptkan, Dia yang menerbitkan Matahari di Timur sampai pada terbenamnya, Kepala di atas-kaki di bawah, tanah di bawah-langit di atas). Kata-kata seperti ini selalu diucapkan dalam setiap upacara Teing Hang. Dari sini juga terungkap pengertian tentang manusia yang mengakui adanya bimbingan, lindungan dan penyelenggaran Tuhan atas semua ciptanya.
Pengetian tentang manusia ini sangat jelas terlihat dalam ungkapan ini: “Denge le Morin agu Ngaran, Bate Jari Agu Dedek, Ite Te pukul pasrn awo kolepn sale, ulunle wa’in lau, tanan wa awangn eta torong ata molorn, titong koe tingo, Tura eta Mori Wura, baro eta Mori Andung, senget koe lite, gesar dami mendid, kaing dani tegi becur, Sor Monggong nggelak nata dami mendim.” (artinya dengarlah kiranya oleh Tuhan Penguasa dan Pemilik alam semesta, tunjukkanlah kebenaran, bimbingilah kami agar memperoleh kebenaran, Engkau yang menguasai dunia dari terbit hingga terbenamnya matahari, lindungi kami, sampaikanlah kiranya doa dan permohonan kehadapan Dia yang telah menciptkan leluhur kami, sembah sujud kami sekalian yang dengan rendah hati memohon kemurahan-Mu).
Secara sosiologis, upacara Teing Hang bermaksud untuk memberi makan kepada arwah leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal yang diyakini memiliki kekuatan supra empiris. Arwah leluhur yang sudah mati itu diyakini oleh masyarakat agama lokal di Manggarai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Arwah leluhur dipandang sebagai jembatan do’a atau letang temba kepada Tuhan bagi yang ditinggalkan dan juga dipandang sebagai suatu bentuk ucapan syukur kepada roh atau arwah nenek moyang yang tinggal atau menjaga mereka serta memberi berkat yang berlimpah kepada masyarakat agama lokal (di Manggarai). Atas dasar itu, upacara Teing Hang dilakukan dengan maksud agar arwah leluhur itu tetap menjaga mereka yang masih hidup dan tetap setia menyampaikan doa dari orang yang masih hidup Morin Kraeng.
III. Nilai-nilai yang Ditawarkan Dari upacara Teing Hang Terhadap Kebudayaan Nasional
Pertanyaan yang pantas diajukan sebelum kita melihat nilai-nilai yang ditawarkan dari upacara Teing Hang terhadap kebudayaan Nasional adalah apakah sumber kebijakan kebudayaan Nasional itu? Jawaban atas pertanyaan ini, dapat kita rujuk pada gagasan Soerjanto. Menurut Prof. Soerjanto Poespowardojo bahwa sumber kebijakan kebudayaan nasional adalah nilai-nilai budaya yang masih hidup dan dihayati oleh masyarakat. Dari gagasannya ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Teing Hang juga merupakan salah satu kearifan budaya lokal yang dapat membangun kebudayaan nasional.
Teing Hang adalah nilai budaya yang masih sangat kuat hidup dan dihayati dalam diri masyarakat Manggarai. Pengandaiannya jikalau upacara Teing Hang bukan suatu nilai budaya yang hidup, maka bentuk upacara Teing Hang pasti sudah ditinggalkan dan hilang. Upacara Teing Hang lahir dari kesadaran akan eksistensi manusia itu sendiri dan secara khusus dalam hubungan dengan Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa). Kesadaran inilah yang mendasari keyakinan upacara Teing Hang ini, sehingga tetap eksis sampai sekarang. Di bawah ini, penulis memaparkan nilai-nilai dari upacara Teing Hang terhadap kebudayaan nasional.
Pertama, Nilai sosial. Upacara Teing Hang yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya dilihat sebagai suatu bentuk keyakinan masyarakat agama lokal di Manggarai. Mereka menyakini bahwa arwah nenek moyang atau leluhur sebagai perantara atau jembatan doa kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang supra empiris. Selain membangun relasi dengan sesuatu yang memiliki kekuatan supra empiris, upacara ini juga menyiratkan sebuah undangan kepada sesama untuk mengambil bagian dalam upacara ini. Dengan demikian, nilai sosial yang terungkap dari upacara Teing Hang adalah adanya sebuah undangan kepada keluarga yang lain untuk sama-sama berkumpul. Dengan berkumpul bersama-sama dengan sendirinya ikatan kekerabatan atau ikatan sosial semakin kuat. Upacara Teing Hang meretas kesukuan, keegoisan, sehingga tidak ada sekat atau kelas sosial dalam masyarakat. Inilah nilai yang disumbangakan dalam membangun kebudayaan nasional.
Kedua, aspek religius. Upacara Teing Hang dilihat sebagai alat ukur yang menilai aspek religius masyarakat yang beragama lokal di Manggarai. Orang Manggarai percaya bahwa dengan melaksanakan upacara Teing Hang, mereka memperoleh keselamatan baik bagi dirinya (pihak yang menyelenggarakan upacara ini) maupun orang lain yang terlibat dalam upacara yang sama. Dengan demikian, dalam aspek religius ini juga mencakup aspek sosialnya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas pada poin (2.1) khususnya berkaitan dengan penerimaan tamu.
Upacara Teing Hang sesungguhnya ‘mencerminkan usaha dan perjuangan manusia untuk menggapai kebenaran metafisis’ dan bahwa dibalik apa yang tampak, nyata atau real ada Dia, yang kepada-Nyalah segala pujian dan syukur diucapkan dalam upacara Teing Hang. Jadi, upacara Teing Hang merupakan hasil upaya reifikasi atas kebutuhan manusia untuk mendapatkan kejelasan tentang hidup ini serta keselamatannya ‘di sana’ yang manusia tidak tahu, maupun dalam keadaan di mana hidupnya merasa teracam.
Ketiga, aspek kekerabatan. Upacara Teing Hang merupakan salah satu cara yang dapat membina dan membangun kekerabatan. Wujud dan nilai kekerabatan dengan sangat indah dilukiskan dalam ungkapan yang paling terkenal masyarakat Manggarai adalah Lonto Leok ( Lonto artinya duduk, Leok artinya bersama-sama membentuk satu lingkaran). Lonto Leok berarti duduk bersama dengan membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari ungkapan ini, tampak jelas dimensi atau aspek kekerabatan yang dibangun oleh orang Manggarai satu dengan yang lain. Lonto Leok menggambarkan kesatuan, kekerabatan dan ikatan kekeluargaan yang sangat dalam satu dengan yang lain. Upacara Teing Hang bercirikan Lonto Leok. Oleh karena itu, dalam upacara Teing Hang ini terungkap rasa kedekatan, ikatan batin yang kuat dan mendalam antara orang yang masih hidup dengan arwah nenek moyang. Perasaan kedekatan dan ikatan batin dengan arwah nenek moyang, akhirnya orang dibawa dan dihantar serta disadarkan untuk membangun relasi dengan Allah.
IV. Penutup
Pada bagian ini, kita mencoba kembali pada persoalan pokok sebagaimana yang telah dikemukakan pada pengantar tulisan ini. Kita mencoba menjawabnya satu per satu. Pertama, mengapa arwah nenek moyang harus diberi makan atau Teing Hang? Upacara Teing Hang bertitik tolak dari suatu kayakinan bahwa meskipun mereka sudah berpisah secara fisik, tetapi mereka masih menjalin hubungan dengan orang yang masih hidup. Sebagaimana orang memperhatikan sesama dengan memberikan makan, maka demikian juga arwah nenek moyang harus diberi makan. Mereka juga butuh makanan. Dibalik keyakinan ini terungkap sebuah credo yang amat dalam yakni penghormatan kepada Allah yang menciptakan mereka. Arwah nenek moyang diyakini sebagai perantara doa-doa mereka yang masih hidup kepada Allah.
Kedua, Apakah ini sebuah bentuk penyembahan berhala? Upacara Teing Hang bukan berhala. Upacara Teing Hang sudah berakar dalam masyarakat agama lokal Manggarai. Kepercayaan agama lokal yang bersifat ‘monoteis implisit’ dengan sendirinya memperlihatkan bahwa upacara Teing Hang selalu digandengkan dengan kepercayaan akan Allah (Morin Kraeng). Pada masyarakat agama lokal Manggarai sudah mengakui bahwa jiwa manusia tidak akan mati. Jiwa manusia tetap hidup meskipun tubuh sudah mati. Logika sederhan menjelaskan kebenaran di atas. Tidak akan ada penghormatan kepada arwah nenek moyang kalau orang tidak percaya akan eksistensi jiwa manusia dan bahwa jiwa manusia ini terus hidup sesudah kematian badan. Mengutip kembali gagasan Herbert Spencer yang mangatakan bahwa kepercayaan manusia akan Allah berasal dari kesadaran purba manusia akan kontinuitas kehidupan sesudah kematian yang diyakini ditopang oleh Wujud Tertinggi—Allah—yang adalah pencipta dan pemilik dari segala sesuatu termasuk hidup kekal sesudah kematian. Dari uraian ini, dengannya kita sudah menjawab persoalan ketiga, yang mempertanyakan apakah upacara Teing Hang sebuah bentuk praktik penyimpangan terhadap agama? Jelasa bukan penyimpangan terhadap agama, sebab upacara Teing Hang justru berangkat dari keyakinan agama lokal dan kesadaran purba manusia.
Kesimpulan
Penghormatan kepada arwah nenek moyang yang secara khusus dilaksanakan melalui upacara Teing Hang lebih merupakan urusan religius keluarga atau kesalehan religius pribadi dari pada praktik religius publik resmi. Pertanyaannya, kapan upacara Teing Hang dipandang sebagai salah satu karakter kebudayaan Nasional? Upacara Teing Hang menjadi salah satu karakter kebudayaan nasional ketika satu suku atau masyarakat dipersatukan dalam penghormatan kepada arwah nenek moyang. Dengan demikian, jelaslah bahwa aspek sosial, religius, dan kekerabatan dari upacara Teing Hang sebagaimana yang diungkapkan di atas menunjukkan karakter kebudayaan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER UTAMA
Dagur, Antony Bagul. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah
Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997.
Hemo, Doroteus. Sejarah Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Ruteng:--
-,1988.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia. Bandung:
Jalasutra, 2009.
Jebadu, Alex. Bukan Berhala! Penghormatan kepada para Leluhur .Maumere: Ledalero,
2009.
Sudhiarsa, Raimundus I Made. Diktat Antropologi Dan Konstruksi Kebudayaan Nasional
Indonesia. Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2007.
Verheijen, Jilis A. J., Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL, 1991.
SUMBER TAMBAHAN
Brouwer, M. A. W., Studi Budaya Dasar. Bandung: Alumni, 1986.
Ihromi, T.O., (ed.). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia, 1987.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: P.D. Aksara, 1969.
-------------------- Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1987.
Nggoro, Adi M., Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah, 2006.
http://montfortanmalang.blogspot.com/2010/12/antropologi-budaya.html
Berita Terkait
_____________
Kami
memberi kesempatan kepada siapa saja untuk mengirimkan berita,artikel,
foto-foto yang ada hubungannya dengan Manggarai Raya (Maya). Dukungan anda
sangat kami hargai. Mari kita bersama tingkatkan kemajuan Maya tercinta. Anda
dapat mengirimkan informasi anda lewat email willyseda72@gmail.com atau
ponsel no 081339141853
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda