Absurditas:
antara ada dan tiada. Sebuah lukiskan realitas
pasca realitas, hidup setelah kehidupan. Tapi bukan absurditas total karena
masih ada kemungkinan untuk sebuah
keberadaan walaupun nampak samar-samar. Berakhirnya detakan jantung pra
tanda kematian klinis, tubuh tak bernyawa tapi aku tidak hilang, aku menjadi
sesuatu yang lain, sesuatu yang tak bertubuh. Aku ada tapi tidak ada. Aku ada
tapi tidak terdeteksi. Aku terlebur bersama alam, ada bersama udara (bagaimana
membedakan udara dengan udara lainnya??). TAPI… ada sesuatu yang “berkekuatan
ampuh” yang mampu menarik dan menyatukan diriku dari “butiran udara”… NOMOR…
Nomor ponselku masih tertinggal di dunia dan ada seseorang yang memencetnya…
Aku tertarik masuk ke dalam ponsel.
Penasaran dengan kisah ini? Silahkan lanjutkan
membaca NOMOR, cerpen realis-magis buah imajinasi Seno Gumira Ajidarma.
NOMOR
(SENO
GUMIRA AJIDARMA)
Setelah
aku mati diriku adalah sebuah nomor dalam telepon genggam.
Memang benar setelah jantung pada tubuh
tempatku bermukim berhenti berdetak, dan pemilik tubuh itu menghembuskan napas
yang penghabisan, aku yang sudah bukan diriku terleburkan ke dalam ruang dan
menyatu bersama waktu. Setelah aku mati keberadaanku tidak terhapuskan, tetapi
diriku tetap saja tiada, tidak terlacak, tidak tertunjuk, dan tidak terpetakan.
Bagaimanakah caranya mencari udara di antara udara? Betapapun, karena tidak
lagi merasa dan tidak lagi berpikir, terpisahnya roh dari tubuh itu tidaklah
menjadi masalah bagiku. Bagaimana caranya menjadi masalah jika ada dan tiadanya
diriku tiadalah dapat kuketahui pula bukan?
gambar:ilustrasi |
Aku
memang sudah tidak ada lagi di dunia, tetapi di dunia ini ternyata nomorku pada
telepon genggam masih ada! Meskipun diriku sudah almarhum, begitu terdapat jari
memijit tombol yang membuat nomor itu dipanggil-panggil, diriku yang sudah
tiada kembali ada—tetapi menjadi ada bukanlah soalnya.
Panggilan
itu bagaikan undangan bagi triliunan butir-butir pasir, yang tersebar dengan
keterpisahan sejauh-jauhnya dalam keluasan semesta lain. Panggilan yang akan
membuat setiap butir pasir itu seketika melesat lebih cepat dari cahaya—meski
tidak ada sebutir pasir pun di sini, ukurannya tentu lebih kecil,
sepersetriliun dari sebutir pasir, dan setiap butir yang sepersetriliun dari
sebutir pasir ini masih dibagi sepersetriliun lagi. Namun, tiada sesuatu pun
yang dapat disebut butir, karena tiada benda padat, tiada pula yang cair, bukan
pula semacam udara. Hanya sesuatu, yang hanya bisa dikenali orang mati, sebagai
keberadaan dari kematian itu sendiri, yang ternyata bukanlah kematian sama
sekali!
Tidak
ada butir, hanya ada titik, tetapi titik ini tidak dapat dipegang dan
dirasakan, tidak berbau dan tidak berwarna, bahkan tiada pula titiknya. Hanya
a-d-a. Semburat dalam semesta yang berbeda.
Dalam
sekali pencet bertriliun-triliun titik yang tersebar menyatu kembali menjadi
diriku.
Zzzzzzaaaaaaapppp!!!
Panggilan
itu membuat diriku masuk ke dalam telepon genggam. Aku terhisap sampai ke batas
dunia. Kubilang batas, karena seperti terdapat selaput tak terlihat dan tak
terasa yang menahanku hanya sampai di situ. Perempuan itu memandang ke arahku,
artinya memandang ke layar telepon genggamnya, mungkin ia membaca sebuah nama
dan menatap sebuah wajah, tetapi jelas tidak sedang mengamatiku. Tidak dukun,
tidak sinar inframerah bisa membuat diriku terlihat. Semua itu cuma omong
kosong.
Di balik
layar, akulah yang mengamatinya. Tentu saja aku tidak bermata dan tidak berotak
lagi, tetapi dalam kenyataannya diriku mengetahui dan memahami, setidaknya aku
dapat bertanya-tanya, apakah kiranya yang sedang dipikirkannya?
Apakah
ia mengenali nama dan wajah pada layar telepon genggam ini?
”Orang
ini sudah mati!” katanya.
”Kenapa
kamu meneleponnya?”
Wah, ada
orang di sebelahnya, suaranya suara pria.
”Karena
aku penasaran,” jawab perempuan itu, ”seperti kenal namanya, tetapi wajahnya
tidak terlalu jelas, jadi kutelepon saja. Hanya teman-teman dekat yang namanya
ada di sini.”
”Jadi
kamu mengenalnya?”
”Kurasa
tidak. Jika iya, aku sudah mengenali namanya!”
”Bagaimana
kamu tahu bahwa orang ini sudah mati?”
”Lho,
bagaimana kamu bisa tidak tahu, waktu itu beritanya dimuat di mana-mana. Semua
koran, televisi, internet, dan media sosial memuat tampangnya!”
”Aduh!
Aku lupa! Terlalu banyak orang mati yang juga dimuat tampangnya di mana-mana!”
”Seharusnya
ingat! Memang sudah lama sekali, tetapi kematiannya yang sangat misterius
sepertinya selalu diperingati!”
”Sama
saja! Terlalu banyak orang yang kematiannya sangat misterius dan setiap tahun
diperingati dengan tampang yang dimuat di mana-mana! Aku tidak bisa ingat
semua! Terlalu banyak berita!”
”Tapi
mengapa nomornya bisa ada di sini ya?”
”Barangkali
karena sebetulnya pernah dekat denganmu.”
”Tidak
mungkin.”
”Mungkin
saja.”
”Nyatanya
aku lupa.”
”Hmm, kamu
beli telepon bekas ya?”
”Tidak,
ini dari ibuku.”
”Kalau
begitu hubungannya dengan ibumu.”
”Tapi
ibuku dapat telepon genggam ini dari kakekku!”
”Hmm.
Aku baru sadar, kalau kita terima warisan, rupanya kita juga mewarisi semua
persoalannya.”
”Ah, ini
tidak perlu menjadi persoalan bagiku!”
Perempuan
itu rupanya lantas mematikan teleponnya. Mungkin pula menghapus nomor itu dari
simpanan nomor-nomor dalam telepon genggamnya.
Zzzzzziiiiiiiiippppppp!
Aku pun
terlontar lepas dari dalam telepon genggam itu, terpecah kembali menjadi
bertriliun-triliun titik dengan besaran sepersetriliun titik dibagi
sepersetriliun lagi yang terus menyusut dengan keterkecilan tak terhingga dalam
kecepatan tak terhingga pula meskipun tak pernah lenyap karena memang ada,
hanya ada, dan tiada lain selain ada.
Aku pun
semburat menjadi bukan diriku dalam bertriliun-triliun titik yang bukan titik
sepanjang semesta lain di tempat yang sama. Terpisah-pisah sejauh-jauhnya dalam
kejauhan tiada terhingga selama entah berapa lama, mengembara di antara
bertriliun-triliun-triliun titik yang bukan titik yang tiada terhingga
banyaknya …
… sampai
entah kapan ketika jari seseorang entah di mana menekan sebuah tombol yang
menyentuh nomor itu, barangkali nomorku waktu masih bertubuh dulu, pada sebuah
telepon genggam ….
Zzzzzzzzzzzzzzzzzzz
!
Cerpen di
atas adalah buah karya Seno Gumira Ajidarma. PIMR
hanya mengarsipinya secara digital dalam blog
ini. Anda bisa mengunjungi sumber aslinya di bawah ini.
http://print.kompas.com/baca/2015/10/18/Nomor
lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda