gambar :ilustrasi |
Dengan metode keraguan Rene
Descartes seorang filsuf Perancis memproklamirkan “Cogito Ergo sum”: saya berpikir maka
saya ada. Descartes mencari dasar yang membuktikan
keberadaan dan ia menemukannya dalam aktus berpikir. Dengan kata lain secara ekstrim
kontradiktoris dapat dikatakan Jika saya tidak berpikir maka saya tidak ada. Karena
itu saya mesti berpikir supaya saya ada. Seakan mengafirmasi cetusan Descartes, Badra
sang Penyair memiliki credo senada, “Saya
berpuisi maka saya ada”. Bagi Badra puisi telah mendarah daging dan menyatu
dengan jiwanya. Karena itu bagi Badra kehidupannya adalah kehidupan puitis maka
semestinya kematiannya adalah juga sebuah kematian puitis. Apakah harapan akhir
sang penyair, mati sedang berpuisi ini terpenuhi? Silahkan baca kelanjutan
kisanya dalam “Kematian Puisi” Karya Sandi Firly di bawah ini…
Kelopak matanya yang kendur dan keriput perlahan membuka. Kemudian menutup lagi—mungkin karena cahaya lampu ruangan yang putih terang terlalu menusuk matanya yang sudah tua. Sesaat, bola mata yang sudah tak lagi benar-benar hitam, lebih cenderung coklat, karena dimakan usia itu pelan-pelan terbuka lagi. Dan dilihatnya dua perempuan muda cantik berpakaian putih-putih sedang menatapnya dekat-dekat.
”Aku sudah mati?”
”Beruntung, Bapak masih
selamat.”
”Kalian bidadari surga?”
”Bukan, Pak.”
”Jadi...?”
”Bapak di rumah sakit.”
”Akh...,” lenguhnya, dan
kembali memejamkan mata.
Besok paginya penyair tua
Badra sudah dibolehkan pulang. Ia hanya dinyatakan kelelahan karena faktor
usia. Pada malam dia ambruk di atas pentas saat pembacaan puisi di gedung seni
utama kota itu, Badra memang tampil energik. Membacakan lima puisi hampir tanpa
jeda, bergerak ke sana kemari, kadang juga sambil jumpalitan, dengan suara
kencang penuh luapan emosi dan entakan. Pada puisi terakhirlah dia akhirnya terduduk,
lantas rebah persis seperti ikan besar terdampar.
Semula orang-orang
menduga itu bagian dari pertunjukannya. Tepuk tangan panjang membahana
menggetarkan ruangan pembacaan. Tetapi, hingga tepuk tangan terakhir, Badra
tidak bangun juga. Seketika ruangan menjadi hening, dan lantas berubah riuh
geremengan orang-orang yang saling bertanya dan tak tahu apa yang telah terjadi
terhadap penyair tua itu.
Karya: Nasirun |
Panitia acara—seperti
juga para penonton yang semula mengira Badra hanya sedang berakting—akhirnya
naik ke atas panggung. Ditepuk-tepuk, tidak juga bangun. Dan ketika tubuh tua
kurus itu dibalikkan, dari mulutnya keluar air liur yang cukup banyak, mungkin
juga sedikit muntah.
Suasana pun berubah
gempar. Tubuh lelaki berusia 68 tahun itu segera dibawa mobil panitia menuju
rumah sakit terdekat—yang di sana kemudian dia mengira telah mati dan bertemu
bidadari.
Sudah hampir dua bulan
ini Badra memang ingin mati. Tetapi, bukan kematian biasa. Dia ingin mati di
atas pentas, saat membaca puisi. Dia juga sudah meminta kepada Tuhan, di dalam
doa-doanya, agar dimatikan ketika tengah menjalankan ritual yang telah dilakoninya
lebih dari separuh hidupnya.
Keinginan itu tepatnya
disampaikan saat dia mendapatkan hadiah kehormatan atas pengabdiannya kepada
puisi oleh pemerintah ibu kota. Di atas podium, di dalam pidatonya yang cukup
pendek, namun mendapatkan aplaus panjang dari para hadirin, yang tidak saja
dari kalangan penyair, seniman, tetapi juga para pejabat pemerintahan, dia
menyampaikan amanat kematiannya.
”... Bila John F Kennedy
mengatakan, ’Jika politik itu kotor, maka puisilah yang membersihkannya’, aku
justru ingin mengatakan, ’Jika di dunia ini tidak ada puisi, maka sebaiknya aku
mati’. Aku telah mengabdikan diri kepada puisi berpuluh-puluh tahun, mungkin
lebih setengah abad, hingga memutih kumis, jenggot, dan rambutku. Telah juga
kuraih banyak prestasi lewat puisi, hingga yang kuraih kini yang kuanggap
penghargaan tertinggi bagiku dan bagi puisi. Lalu aku pun berpikir, rasanya
sudah tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini, selain sebuah kematian
bersama puisi. Aku ingin mati di saat membacakan puisi, mungkin di atas pentas
ini nanti. Sebab aku sendiri adalah puisi. Jiwa, tubuh, dan pikiranku telah
menjadi puisi.”
Lalu, dia pun membacakan
puisinya yang juga bertema kematian. Penampilan Badra memang selalu memukau.
Tidak saja gaya pembacaannya, tapi keseluruhan dirinya yang bagai puisi itu
sendiri. Rambut putih panjangnya hingga menyentuh pundak yang kadang
berkibar-kibar, pahatan wajahnya yang tegas—juga kerutan-kerutan ketuaannya,
dan liukan liat tubuhnya yang agak kurus tinggi, seolah puisi yang hidup. Puisi
yang mewujud.
Sejak itu, dia hampir
tidak pernah melewatkan acara pembacaan puisi. Tidak saja di ibu kota tempat
dia tinggal seorang diri—tanpa anak bini serta sanak keluarga, tapi juga ke
daerah-daerah yang mengundang dirinya. Puisi yang dia baca selalu bertema
kematian. Dan peristiwa dia ambruk di atas pentas kemarin malam adalah untuk
yang kali ketiga. Tapi, dia tidak mati. Karena itu juga, setiap mendapati
dirinya masih hidup, dia merasa kecewa.
”Mengapa tidak biarkan
saja aku mati di atas pentas pembacaan puisi itu?” katanya suatu ketika kepada
Darmo, sahabatnya yang seorang kritikus sastra.
”Memangnya kamu serius
ingin mati?” tanya Darmo heran.
”Seperti puisi, aku tidak
sedang bercanda. Aku serius ingin mati saat membaca puisi,” sergahnya.
”Tidak usah kau minta
pun, kau juga pasti mati. Mungkin juga sebentar lagi,” ujar Darmo agak
bercanda. Seumur-umur berkawan dengan Badra, memang baru kali ini Darmo
mendapati sikap aneh sahabatnya itu.
”Aku tahu, Darmo, aku
pasti akan mati,” seru Badra kesal. ”Tapi, aku meminta kematian yang khusus.
Kematian yang puitis.”
”Tidak ada kematian yang
puitis, Badra. Mati ya mati. Paling-paling yang ada juga kematian yang tragis.”
”Sialan sekali, kau
Darmo. Kau bisanya hanya membedah-bedah puisi, tapi tidak bisa membedah jiwa
penyair.”
Darmo tertawa. Badra
kecewa. Penyair itu merasa sahabatnya sudah tumpul analisisnya terhadap jiwa
penyair. Terhadap dirinya. Terhadap puisi dalam keinginannya mati.
”Apakah permintaanku itu
terlalu berlebihan, Darmo?” tanyanya.
”Bukan berlebihan. Tapi
aneh!”
”Kau sama sekali tidak
menghormati keinginanku, Darmo...”
”Aku menghormatimu,
Badra. Seperti juga aku selalu menghormati puisi-puisimu, dan jalan puisi
sebagai jalan hidup yang kau pilih.”
”Jika begitu, semestinya
kau pun menghormati jalan kematian puitis yang kupilih.”
Kali ini Darmo terdiam.
Dia sudah tidak ingin mendebat sahabatnya itu lagi. Mungkin inilah, seperti
sering terjadi kepada orang-orang yang akan mati, keanehan sebagai tanda Badra
memang tidak lama lagi akan menemui kematiannya, pikir Darmo.
Hidup sendiri di kamar
kos pinjaman dari seorang teman yang setengah pebisnis setengah seniman,
kehidupan Badra sangatlah sederhana. Kamarnya hanya berisi sebuah kasur lepek,
satu kursi busa yang sudah usang beserta meja—juga pemberian temannya, satu
kompor gas yang sangat jarang dinyalakan, kecuali memasak air panas untuk
membuat kopi, gelas-gelas dan beberapa piring, satu komputer tua—kalau ini dia
beli sendiri dari uang hadiah ketika memenangkan lomba pembacaan puisi berpuluh
tahun lalu—yang hanya digunakannya untuk mengetik puisi-puisinya, selebihnya
buku-buku di satu rak cukup besar yang menempel di dinding. Tidak ada lemari
pakaian karena dia merasa tidak membutuhkannya. Pakaiannya terlalu sedikit
untuk disimpan di dalam sebuah lemari.
Makannya tidak terlalu
banyak. Bisa dibilang dia tidak terlalu doyan makan. Sekalipun makanan enak,
porsinya tetap standar. Itu sudah terlihat jelas dari ukuran tubuhnya yang
tidak pernah melar sejak muda dulu.
Untuk transportasi, Badra
hanya menggunakan angkutan kota. Jadi, dia sudah mengalami hampir semua
perubahan tarif naik angkot. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukannya, selain
menulis puisi-puisi dan memenuhi undangan pembacaan puisi. Makan, rokok, dan
kopinya dari honor puisi yang dimuat koran-koran setempat. Honor yang tak
seberapa. Terkadang, karena dia berteman dengan semua redaktur koran di kota
itu, dia meminta honor terlebih dulu sebelum puisinya diterbitkan. Untungnya,
para redaktur koran yang memahami kehidupan para seniman, setidaknya kehidupan
Badra, tidak pernah merasa keberatan untuk membayarkan honor di depan walau itu
dari uang mereka sendiri. Bahkan para redaktur itu pun telah menjadwalkan
penerbitan puisi Badra setiap bulannya, agar penyair tua itu tetap bisa makan.
Hidupnya terlalu
sederhana memang. Apalah hidup di dunia ini, hanya bagai sebuah puisi yang
sebentar telah habis dibaca, begitu dia pernah berucap. Tidak ada sesuatu atau
siapa pun yang membuat Badra merasa iri dalam hidupnya. Hanya kepada penyair
Chairil Anwar dia pernah cemburu.
”Chairil beruntung mati
muda. Karena selamanya orang-orang akan tetap menganggapnya sebagai penyair
muda walau telah terkubur beratus bahkan beribu tahun kelak,” ucapnya kepada
Darmo kali ketika.
”Jadi, dulu kamu juga
pernah berharap mati muda?” tanya Darmo.
”Ah, tidak juga. Hanya
saja sekarang aku merasa lebih siap untuk mati, di usiaku sekarang ini. Dan itu
adalah kematian yang puitis, seperti halnya juga kematian yang dialami
Chairil,” ucapnya.
Bila tidak sedang di
kamar kos, dan tidak ada acara sastra, Badra sering pergi ke pelabuhan tua
dekat laut di kota itu. Biasanya sore atau malam-malam. Semua temannya juga
tahu. Di sana dia hanya duduk memandangi sungai yang mengalir membelah kota, kapal-kapal
yang tambat, juga elang, dan menikmati embusan angin yang datang dari arah
laut. Saat-saat seperti itulah puisi-puisi menghampirinya yang kemudian
dituangkannya ke dalam buku catatannya yang selalu dibawa di dalam tas kain
pundaknya yang sudah lecek.
Perkara kesehatan, Badra
merasa sehat-sehat saja. Kecuali batuk-batuk atau masuk angin yang sesekali
datang. Dia jarang sakit kepala, juga sudah lupa kapan terakhir sakit gigi
karena gigi-giginya sebagian besar memang sudah habis, termasuk gigi bagian
depan. Mungkin saja dia mengidap kanker paru-paru atau penyakit dalam lainnya,
hanya saja tidak diketahui lantaran tidak pernah periksa kesehatan secara
menyeluruh. Tepatnya, dia takut mengetahui ada penyakit gawat di dalam
tubuhnya.
Dia sudah lama meninggalkan
minum minuman keras, seingatnya itu menjelang usianya yang ke-40 tahun. Hanya
merokok yang tidak bisa dihentikannya sejak remaja. Merokoknya keras. Ngopinya
juga kuat.Merokok sudah dianggapnya sebagai obat stres menghadapi keruwetan
hidup. Sementara kopi, menurutnya, sudah ditakdirkan sebagai teman setia rokok.
Andai kematian yang dia
minta datang tiba-tiba—dan ini yang selalu diharapkannya, itu pastilah serangan
jantung. Tempat dan waktu yang sangat diharapkannya serangan itu datang, tidak
lain adalah saat membaca puisi di atas panggung. Yang akhir-akhir ini sangat
dinantikannya. Dirindukannya. Karena dia sudah siap menyambut kematian yang
puitis itu.
Kematian yang diminta
akhirnya datang juga. Tetapi tidak saat membacakan puisi.
Badra ditemukan telah
menjadi mayat setelah tiga hari menghilang dan mengundang tanya kawan-kawannya.
Sang penyair tua tenggelam di bawah pelabuhan dekat laut tempat biasa dia
menyepi.
Para penyair di kota itu
berduka.
Dan Darmo, pada acara
pembacaan puisi mengenang kematian sahabatnya itu pun bersaksi, ”Sungguh
kematianmu puitis, Badra. Melebihi kematian yang kau minta kepada Tuhanmu.
Mungkin laut, seperti kau pernah mencemburui Chairil, juga telah mencemburui
hidupmu yang puitis. Laut pun ingin merasakan puisi. Merengkuhmu. Menelanmu.
Hidupmu puisi, matimu puisi.”
Cerpen di
atas adalah buah karya Sandi Firly. PIMR
hanya mengambil dari kompas.com dan mengarsipinya secara digital dalam blog
ini. Anda bisa mengunjungi sumber aslinya di bawah ini.
Source: http://print.kompas.com/baca/2015/10/04/Kematian-Puisi
Lainnya:
RIP: Semoga Arwah Badra juga tetap berpuisi di dunia seberang: Puisi tentang Kebahagiaan di atas panggung kekekalan. Pecinta puisi.
BalasHapus