Blogger Widget
Terima Kasih Telah Berkunjung Ke PIMR, Kunjungan Anda Adalah Dukungan Anda, PIMR Membuka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Siapa Saja Yang Mau Bergabung, Mempunyai Minat, Memiliki Kesamaan Visi & Misi Membangun Daerah Manggarai, Dengan Menaikan Status Blogspot Ini Menjadi Situs Informasi Resmi Bagi Masyarakat Manggarai

Senin, 24 Agustus 2015

Usia Ke-70-mu Dan Ke-indonesia-timuran Kami



Tulisan ini adalah sebuah refleksi kritis atas usia Kemerdekaan Indonesia yang ke-70 dan kenyataan stigmatisasi serentak polarisasi teritori dan budaya Indonesia atas timur dan barat, yang terbelakang dan terdepan, antara jawa dan luar Jawa, antara daerah yang kaya dan daerah yang miskin.

Berawal Dari Program Talkmania (TM) Telkomsel

Apakah anda termasuk pengguna TM Telkomsel? Saya salah seorang pengguna “setia” telkomsel kurang lebih sejak tahun 2003 dan beberapa bulan terakhir pengguna TM aktif. Sekadar informasi telkomsel menyediakan beberapa jenis TM di antaranya TM Sehari untuk siang atau malam, TM Duo untuk 2 hari, Tm jumbo 6 hari. Saya sudah sering menggunakan TM jumbo 6 hari dengan pertimbangan selain sangat ekonomis karena terbilang murah tetapi juga karena registrasinya cuma sekali untuk 6 hari. Akan tetapi sejak beberapa hari yang lalu TM jumbo 6 hari itu sudah tidak berlaku.  Saya menerima sms dari 8999 sebagai berikut: “Maaf, anda tidak bisa membeli TM Jumbo siang ini. Paket ini bisa dibeli di lokasi tertentu dan pastikan anda tidak berada di area khusus. Info hub 188.”
Untuk mendapat kepastian saya pun menghubungi call center dengan menggunakan nomor 081339063225 dan meminta informasi tentang sms yang dikirim telkomsel dengan nomor 8999. Saya secara pribadi sangat terkejut dan perasaan keindonesiatimuranku tertantang ketika operator mengatakan bahwa TM Jumbo 6 hari sebenarnya tidak berlaku untuk daerah Nusa Tenggara Timur, termasuk Papua dan Maluku. Pertanyaan saya waktu itu: mengapa selama ini bisa diakses kalau toh program itu tidak berlaku untuk daerah NTT, Maluku dan Papua? Jawaban operator membuat saya lebih tersudut dan mengernyitkan dahi lagi. Menurut dia sebenarnya sejak awal peluncurannya TM jumbo 6 hari tidak berlaku untuk daerah NTT, Mauluku dan Papua. Alasan mengapa selama ini masyarakat di tiga daerah tersebut bisa menikmati layanan TM 6 hari hanya karena kesalahan system. Saya spontan tersentak. Apakah pengguna telefon selular telkomsel di NTT hanya sekadar korban kesalahan system? Dengan lain pertanyaan,  apakah hanya selama system gagal warga NTT bisa menikmati bonus layanan telkomsel. Sebegitu “nomorsekiannyakah” NTT sehingga tidak diperhitungkan oleh telkomsel? Apakah warga NTT hanya bisa “menerima”  layanan tapi tidak bisa menentukan hak akses sama seperti daerah lain? Berbagai pertanyaan menyeruak dalam pikiran dan bermuara pada mempertanyakan keindonesiaanku.
Menggugat Keindonesiaanku
Pengalaman “korban kesalahan system Talkmania Telkomsel di atas mengantarkanku pada pertanyaan ihwal keindonesiaanku. Siapakah orang Indonesia? (ini bukan iklan politik) Kenyataan sejarah bahwa nenek moyang kita (bisa juga kami) melakukan konsensus dan memilih bergabung di bawah naungan RI tak bisa dipungkiri. Akan tetapi bahwa saya terdeterminasi lahir dan dibesarkan dalam teritori dan budaya “Indonesia timur” merupakan kenyataan lain yang sama tak dapat dipungkiri. Sejak SD menggunakan seragam merah putih degan topi berlambang garuda, perasaan bangga, terharu, kecewa ketika tim merah putih/tim garuda bertanding di laga internasional, bediri tegap di bawah terik mentari sambil menghormati sang saka merah putih sembari mengenang jasa pahlawan (bisa jadi bukan pahlawan kami)  Apakah semua itu hanya sekadar seremoni, simbolisasi dan perasaan nirmakna? Apakah aku orang Indonesia? Kalau iya apakah aku mempunyai hak untuk menuntut persamaan (bukan kesamaan) perlakuan dengan daerah lain. Atau apakah stigma “Indonesia timurku” menjadi tembok raksasa yang membatasi pelbagai akses pelayanan “keindonesiaan”.
Apa yang disampaikan operator telkomsel di atas bisa jadi gambaran dari sebagian orang Indonesia (yang buta keindonesiaan) yang melihat daerah timur Indonesia sebagai wilayah yang sarat dengan asosiasi negatif. Kemungkinan lain operator telkomsel di atas memiliki wawasan kebangsaan sempit sehingga membutakan pikirannya untuk melihat kompleksitas Indonesia. Namun bagaimanapun juga, sang operator telefon seluler tersebut adalah representasi dari Perusahaan seluler terkemuka di Indonesia. Karena itu saya yakin setiap operator yang bertugas melayani aspirasi public (pengguna telkomsel) telah memiliki pedoman baku ketika menjawabi pengaduan pengguna layanan kecuali dalam benak para operator termasuk para pengambil kebijakan telkomsel telah tertanam benih polaritas yang menstigmatisasi wilayah Indonesia timur sebagai “yang tak diperhitungkan” dan mendepaknya dari prioritas layanan seperti wilayah Indonesia lainnya. Dengan demikian kata-kata yang diskriminatif dari sang operator telkomesel di atas merupakan kesalahan yang fatal dalam konteks pelayanan public.
Menuju Pemahaman Orang Indonesia dari NTT : Harapan Bagi Pemangku Kebijakan
Gugatan di atas terdiri atas pelbagai pertanyaan yang tak habis terjawab tetapi malah melahirkan pelbagai anak pertanyaan lain. Hemat saya polarisasi Indonesia atas timur dan barat juga tak kunjung usai jika kita tidak menghapus stigmatisasi di dalamnya. Dalam konteks social budya bahkan politik berikut ekonomi Indonesia timur dan barat bukan sekadar nama tetapi ada muatan maha luas di dalamnya. Indonesia timur diasosiasikan dengan terbelakang, konservatif, miskin, bodoh, keras dan pelbagai asosiasi negative lainnya. Konsekuesinya dalam skala keindonesiaan, kata timur menjadi pilihan nomor besar dari hitung-hitungan politis, ekonomi dan social. Rupa-rupanya daerah timur Indonesia bukan hanya memiliki kelangkaan alam dan fauna (baca: kelimutu dan komodo di NTT juga Raja Empat di Papua) tetapi juga kelangkaan dalam banyak bidang seperti kelangkaan bbm, kelangkaan akses pendidikan, kelangkaan akses pangan, kelangkaan akses informasi dan teknologi dan pelbagai kelangkaan lainnya. Kelangkaan dan keterbatasan ini berujung pada tingginya “economy cost”/harga ekonomis untuk barang-barang dan pelayanan public tertentu jika dibandingkan dengan daerah barat Indonesia yang jauh lebih murah dan gampang.
Dalam scope nasional baru-baru ini telah terjadi reshuffle cabinet. Beberapa Menteri diganti dan ditunjuk orang baru. Tujuan perombakan cabinet jelas: percepatan pembangunan. Kita berharap percepatan itu berlaku juga untuk daerah NTT tercinta. Dalam waktu dekat akan terjadi pergantian pemangku tahta daerah. Bagi kita para pemilih tentu menginginkan pemimpin terbaik yang mampu membawa daerah ini ke arah kemajuan dan kesejahteraan. Tantangan untuk pemimpin daerah NTT adalah menaikkan “harga jual” NTT di mata nasional, bahwa ketimuran tidak sama dengan keterbelakangan dan kemiskinan, bahwa dari ufuk timur bisa terbit matahari harapan menuju Indonesia utuh. Sebagai orang NTT kita tidak bermaksud meninggalkan atau mengingkari NKRI. Pernah tertoreh dalam sejarah kita berdiri Negara Indonesia Timur. Akan tetapi masa itu sudah usai. Saat ini kita adalah bagian utuh dari Keindonesiaan dalam segala aspeknya. Kita adalah orang Indonesia dari NTT (bukan NIT), kita adalah orang Indonesia dari bagian timur Indonesia dan bukan orang dari “Indonesia Timur”. Pertanyaannya apakah saudara-saudara kita dari bagian barat Indonesia merasa kita bagian utuh dari Keindonesiaan? Jangan lupakan sejarah!
 Berita Lainnya
 

3 komentar:

  1. Monopoli telkomsel tapi tanpa telkomsel kita juga tidak bisa mendapat layanan telefon seluler.
    markus

    BalasHapus
  2. Siapakah orang manggarai? Orang manggarai adalah orang Indonesia pada saat pemilihan umum dan orang indonesia Timur saat menikmati hasil pembangunan nasional.
    ata kreba

    BalasHapus
  3. Salam. Sekitar pukul 10:57 waktu komputer saya, pihak telkomsel dengan nomor +62111 atas nama operator Fitri meminta konfirmasi atas komplain saya kemarin ihwal pelayanan operator telkomsel yang kurang memuaskan. Saya kira ini salah satu cara yang ditunjukkan telkomsel sebagai operator terkemuka. Kepada sang operator saya meminta agar memperhatikan tata cara berbahasa ketika melakukan pelayanan publik, terutama hilangkan kata-kata yang diskriminatif dan mengandung unsur SARA. Dengan pengalaman ini siapapun anda yang merasa diri bagian dari bangsa ini mempunyai kewajiban dan hak untuk mendapat akses pelayanan publik yang tanpa membeda-bedakan, suku, ras, agama, teritori, jabatan, jenis kelamin, dll. Kalau tidak puas ajukan pertanyaan dan jangan hanya diam. (PIMR)

    BalasHapus

Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda