Cerpen Kompas
Mengangkat hal-hal sepele tapi detail, itu cara Ahmad Tohari
membahasakan kehidupan merdeka manusia pinggiran. Mulai dari memanaskan mi
instan dalam plastik pembungkusnya sampai kebiasaan si anak untuk kencing di “sembarang
tempat” bahkan hampir membasahi punggung emaknya, kebiasaan yang rupanya sudah
menjadi rutinitas harian. Apakah anak ini salah? TENTU SAJA TIDAK! Si anak
hanya mengulang apa yang telah dilakukannya kemarin yang tetap dibuatnya hari
ini dan akan tetap dibuatnya esok hari. Manusia bebas-merdeka-dalam karya
Tohari- bisa dan biasa mengencingi tempat tidur dan tempat makannya karena
tidak ada lagi tempat lain untuk kencing. Tohari berhasil meramu kisah nyata
“manusia rel” kereta api dengan bahasa sederhana tapi lugas. Ingin tahu kisah
selengkapnya?? Silahkan lanjut membaca….
Anak ini Mau mengencingi Jakarta?" (Ahmad Tohari)
Tentu tidak ada penumpang yang setuju kereta api
malam dari timur itu berhenti sesaat menjelang stasiun Pasar Senen. Tapi
nyatanya kereta api itu benar-benar berhenti. Entah ada apa di depan sana.
Penumpang yang sudah bangun banyak yang mengeluh.
Tiga laki-laki secara bersamaan melihat jam tangan mereka dengan wajah kecut.
Masinis di ruang kemudi dan dua kondektur di gerbong paling depan mendesah
kesal. Di mata mereka sudah kelihatan kopi panas dalam salah satu ruang dinas
di stasiun Pasar Senen. Ada juga lelaki necis yang keluar dari kakus kereta
sambil menggenggam sikat gigi. Atau di sana, di bagian sudut, ada lelaki
berwajah saleh sedang shalat subuh sambil duduk. Dan yang paling banyak suara
adalah penumpang-penumpang perempuan yang membawa anak.
Kereta itu berhenti di wilayah kehidupan
orang-orang pinggir rel. Kehidupan yang sungguh merdeka dan berdaulat, sedang
mulai bergerak. Tetapi, sebagian besar mereka masih terbaring dalam gubuk-gubuk
kardus yang menyandar ke tembok pembatas jalur-jalur rel. Ada yang hanya tampak
kaki, dan tubuh mereka terlindung di bawah atap sangat rendah lembaran rongsok.
Dan di sebelah kanan rangkaian kereta, di balik semak yang meranggas dan
berdebu, seorang lelaki dan anak kecilnya sudah bangun. Di dekat mereka ada
perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain melingkar di atas gelaran
kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu tampak lelah. Tetapi gincu bibir
dan bedak pipinya tebal. Entahlah, mungkin perempuan itu tadi malam berjualan
birahi sampai pagi.
Laki-laki itu bangkit, berjalan menyeberang menuju
warung yang sepagi itu sudah buka, bahkan sudah ada dua penjaga malam duduk
menghadapi gelas kopi mereka.
Di tangan kanan laki-laki itu ada sebungkus mi
instan. Di warung kopi seberang jalan, sudut bungkus mi disobek dengan
hati-hati sekadar untuk membuat lubang. Saset-saset bumbunya dikeluarkan. Lalu
disodorkan selembar uang ribuan kepada perempuan warung yang segera mengambil
termos dan membuka tutupnya. Keduanya kelihatan akrab, saling bersikap manis,
dan tampak telah biasa bekerja sama. Maka perlahan dan sangat hati-hati air
panas dari termos di tangan perempuan warung mengalir dengan cermat ke dalam
kantung plastik mi instan lewat lubang sobekan di sudut. Cukup.
Kemudian dengan gerak yang sudah terbiasa
laki-laki itu menyobeki saset-saset bumbu dengan gigi, mengucurkan bubuk bumbu
melalui lubang sobekan, dan berbalik melangkah menuju anak laki-laki kecil yang
sedang menunggu dekat tubuh emaknya. Sambil berjalan lelaki itu mengocok-kocok
kantung mi yang dijimpit dengan jemari tangan kanan.
Masih sambil berjalan lelaki itu terus
mengocok-kocok, lalu menggoyang-goyang kantung plastik itu, tentu agar mi
instan di dalamnya cepat melunak. Kemudian jongkok dekat anak yang terus
menatap kantung mi itu. Istrinya atau apanya masih tidur. Rasanya laki-laki itu
sadar di hadapannya ada sepasang mata bocah yang terus menatap dengan sepenuh
harap. Mata anak yang masih sejati itu bergulir-gulir mengikuti gerak ayunan
tangan ayahnya yang menjimpit kantung mi istan. Roman muka bocah itu mulai
menunjukkan ketidaksabaran. Dia seperti sudah lama menahan rasa lapar. Bibir
bocahnya yang masih begitu sejati juga bergerak-gerak menuruti ayunan kantong
mi yang terus digoyang oleh ayahnya. Kadang lidahnya agak terjulur dan liurnya
menitik di sudut mulut. Anak ini sudah belasan kali menelan-nelan ludah.
Kantung mi berhenti berayun-ayun. Mata anak itu
menyala. Bibirnya bergerak-gerak seakan siap menerima makanan. Jakunnya
turun-naik. Dan ayah itu memindahkan kantung mi dari tangan kanan ke tangan
kiri. Kemudian telunjuk dan ibu jari tangan kanan menyatu dan masuk ke lubang
sobekan di sudut kantung mi dengan hati-hati. Ketika ditarik keluar, telunjuk
dan ibu jari tangan kanan laki-laki itu sudah menjepit dua sulur mi yang masih
mengepulkan uap. Kedua mata si anak menyala. Tetapi si ayah tidak segera
memasukkan ujung sulur mi itu ke mulut anaknya yang sudah terbuka. Malah
mengayun-ayunkan lagi di udara.
”Pa!” seru si anak kepada ayahnya. Dia kelihatan
sudah tidak sabar. Matanya lekat pada sulur-sulur mi yang menggantung di tangan
ayahnya.
”Tahan, ini masih panas. Mulutmu bisa melepuh.”
”Pa!” anak itu menepuk-nepuk pahanya sendiri
dengan kedua telapak tangan untuk melampiaskan rasa tidak sabar. Air matanya
mulai meleleh di kedua pipinya yang masih sejati itu. Ada anak usia lima
tahunan menangis di hadapan ayunan sulur mi instan yang sudah lunak.
”Pa, lapar, lapar!”
”Bapa bilang, tunggu. Ini masih panas.” Kata si
ayah. Dia berhenti mengayun-ayun sulur mi itu, ganti meniup-niup dengan
mulutnya yang monyong. Anaknya terisak tetapi entahlah, dia bangkit berdiri.
Berbalik dan menyingkap celana sendiri di bagian paha. Anak usia lima tahunan
itu kencing.
”Hus! Jangan kencing di situ. Nanti kena punggung
emakmu.” Tegur si ayah. Anak itu mengejan, mengekang kemaluannya dan kencingnya
berhenti mengucur; memutar badan sembilan puluh derajat, kemudian cairan
kekuningan mengucur lagi dari kemaluan yang masih sejati.
”Nah begitu, kamu tidak boleh kencing dekat
punggung emakmu. Ayo, mi ini sudah agak dingin,” kata si ayah. Kini laki-laki
itu menggerak-gerakkan tangan kanan yang menjepit tiga sulur mi tidak mengayun,
tetapi naik turun. Anaknya jongkok dengan wajah agak menengadah, mulutnya
terbuka, matanya setengah terpejam. Si ayah dengan hati-hati menjatuhkan ujung
sulur mi ke dalam mulut anaknya. Mulut mungil yang masih sejati itu cepat
mengatup; telunjuk dan ibu jari tangan kanan si ayah melepaskan jepitan; ujung
lain sulur mi terkulai ke bawah dagu kecil. Tetapi semuanya cepat melesat naik.
Ada bunyi ’slulup’ ketika sulur mi terhisap oleh sedotan kuat mulut yang masih
sejati tapi amat lapar. Anak laki-laki itu hampir tersedak.
”Sabarlah! Enak?”
”Enak sekali.”
”Ya. Ayo, buka lagi mulutmu,” perintah si ayah
setelah jemarinya menjepit lagi beberapa sulur mi yang tidak lagi mengepulkan
uap. Seperti suapan yang pertama, sulur mi itu segera tersedot dan menghilang
dengan bunyi slulup ke dalam mulut si bocah. Rona nikmat dan puas muncul di
wajah anak usia lima tahunan itu.
”Pa, aku seperti anak yang di TV-nya ibu warung
kopi, kan?”
”Di TV, bagaimana?”
”Iya, Pa. Di TV juga ada anak nyedot mi, kan?
Anaknya cakep. Bajunya bagus banget. Rumahnya bagus banget. Jadi sekarang aku
sama seperti anak yang makan mi di TV kan ?” tanya anak usia lima tahunan itu
dengan roman muka yang sejati. Sejenak si ayah kelihatan terpana. Namun sesaat
kemudian tawanya meledak. Tubuhnya terguncang. Kuah mi instan sampai muncrat
dari lubang kantung plastik yang sedang dipegang dengan tangan kirinya.
”Kenapa Bapa tertawa?”
”Ah, tidak apa-apa. Tapi kamu lebih hebat dari
anak yang makan mi di TV itu.”
”Aku lebih hebat?”
”Ya, karena kamu sudah bisa kencing agak jauh dari
punggung emakmu. Hebat kan? Ayo makan lagi, bapa akan terus suapi kamu.”
”Tapi aku ingin minum kuahnya juga, Pa.”
”Kuahnya masih terlalu panas. Lagi pula kamu
jangan serakah. Kuah mi selalu buat emak. Dia suka sekali.”
”Tapi dia masih tidur.”
”Nanti kan bangun. Ayo buka mulut lagi,” perintah
si ayah. Anak kecil itu tidak memberikan tanggapan.
”Emak memang suka ngenyot-enyot kuah mi dari kantung
plastik ya Pa?”
”Iya, emakmu memang suka begitu.”
”Bapa suka melihat Emak ngenyot-enyot kuah mi dari
kantung plastik?”
”Kamu usil.”
”Suka ya, Pa?”
”Ya, suka.”
”Kenapa suka?” Anak itu sungguh-sungguh bertanya.
Kedua matanya mengatakan itu. Si ayah kelihatan malas menanggapi, tapi kemudian
laki-laki itu bersuara juga.
”Ah, ketika ngenyot-enyot kuah mi dari kantung
plastik, emakmu kelihatan menyenangkan, seperti masih anak-anak.”
Mata anak lelaki itu membulat. Ada kesan dia
sedang berfikir dengan otak bocahnya yang tentu masih amat sejati.
”Hore, Bapa hebat. Bapa suka melihat emak ngenyot
kuah mi dari kantung plastik.”
”Hus!”
”Tapi iya kan? Bapa juga suka melihat emak kayak
anak-anak, iya kan?”
Mata anak itu lekat ke wajah ayahnya, menunggu tanggapan.
Sepi. Hanya terdengar kerocak bunyi kuah mi instan dalam kantung plastik yang
dikocok-kocok lagi. Perempuan itu menggeliat lalu duduk dan bertopang tangan
kiri. Pagi sudah terang. Sosok perempuan itu menjadi lebih jelas. Usianya
mungkin empat puluhan. Gincu dan bedak pipinya memang tebal. Atau lebih tebal
di awal malam ketika dia mulai berjualan. Dan kehidupan yang amat berdebu dan
jauh dari air membuat perempuan itu sewarna dengan sekelilingnya yang juga
penuh debu.
”Nah, emak bangun. Emak suka ngenyot-enyot kuah mi
dari kantung plastik, kan?”
Tidak ada tanggapan. Apalagi si ayah telah
mendahului mengulurkan dengan tangan kanan kantung mi kepada istri atau apanya
yang baru bangun. Dan ternyata semua benar; perempuan itu kelihatan sangat
lahap ngenyot kuah mi instan langsung dari kantung plastik. Ada sepasang mata
bocah yang begitu bening dan sejati menatap gerak mulut dan pipi emaknya yang
sedang ngenyot-enyot. Lalu mata bening itu berpindah menatap wajah ayahnya.
Tatapan sejati itu ingin menguji apa benar si ayah suka melihat istri atau
apanya ketika perempuan itu sedang ngenyot-enyot kantung plastik seperti
seorang bocah. Ternyata juga benar adanya. Mata anak lelaki usia lima tahunan
itu menyala, pipinya menyala, dan kedua bibir sejatinya merekah. Dia tertawa
karena melihat wajah ayahnya menjadi wajah seorang yang sedang bersuka.
”Ayah memang hebat,” teriak anak itu sambil
bertepuk tangan. ”Ayah benar-benar suka melihat emak sedang ngenyot kuah dari
kantung plastik. Seperti anak kecil ya? Hore!”
Si ayah bergeming, tidak mengubah arah pandangan
bahkan tidak juga mengedipkan mata. Lelaki itu memandang penuh ke arah istri
atau apanya yang kini duduk setengah menengadah, mulutnya tersambung dengan
sempurna dengan lubang sobekan pada sudut kantung mi instan yang ada di atas
wajahnya. Perempuan yang baru bangun dan masih bersolek tebal itu berusaha
ngenyot kuah hingga tetes terakhir. Ada suara kecup-kecup, juga decap-decap
ketika perempuan itu mencecap endapan bumbu kimia yang mengental dalam tetes-tetes
terakhir kuah mi. Lalu telapak tangan kanannya menyentil-nyentil kantung
plastik yang sedang dienyotnya agar remah mi yang tersisa bisa tanggal dan
jatuh ke mulutnya.
Kantung plastik sudah sempurna kosong, dilemparkan
oleh perempuan bersolek tebal itu ke samping dengan sikap tak peduli. Kantung
itu menyangkut di ranting semak yang meranggas dan berdebu. Senyum perempuan
itu membuat mulutnya seperti bagian dari sebuah topeng. Tapi dia sungguh
kelihatan puas. Ada anjing kuning belang putih melintas. Tepat di kaki tonggak
besi penyangga lampu sinyal binatang itu berhenti. Dia membuat gerakan sangat
anggun; mengangkat kaki belakang yang kiri, pinggul dimiringkan, lalu kencing
membasahi tonggak besi itu. Anak laki-laki usia lima tahunan memandangi ulah
anjing itu dan tersihir. Maka anak laki-laki itu menyingkap celananya di bagian
pangkal paha mau kencing juga. Tetapi dia mendadak tertegun oleh suara keras
ayahnya.
”Jangan kencing di situ! Nanti kena buntalan
pakaian emakmu. Tadi kamu hampir kencing dekat punggung, sekarang mau kencing
dekat buntalan pakaian.”
Anak itu mengembalikan letak celananya. Dia memang
tidak terdesak untuk segera kencing, tapi hanya tersihir oleh ulah anjing yang
tadi kencing di sana.
”Kencing dekat punggung emak, tidak boleh. Kencing
dekat buntalan pakaian, juga tidak boleh. Yang boleh di mana, Pa?”
Si ayah tersenyum. Wajahnya sungguh menampakkan
wajah manusia bebas-merdeka, khas wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api.
”Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun
seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang
Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di
Senayan. Dengar itu?”
Mata anak lelaki usia lima tahunan itu membulat.
Bingung, karena dia tidak tahu di mana tempat-tempat yang tadi disebut ayahnya.
Sejenak lengang. Si ayah menunggu; si emak tertawa-tawa. Dan tiba-tiba
terdengar suara lelaki terbatuk dari arah belakang. Serentak ketiga warga
pinggir rel itu menoleh ke belakang. Dan terpana. Di sana, pintu terdekat
kereta api sudah terbuka. Atau sudah lama terbuka. Ada satu kondektur dan satu
penumpang berdiri tegak. Mereka berasa sedang menonton pentas dari alam yang
berbeda. Kemudian kedua laki-laki itu merapat ke sisi-sisi yang berlawanan
untuk memberi jalan kepada orang ketiga yang ingin muncul. Orang ketiga adalah
gadis pramusaji yang cantik seperti pramugari. Di tangannya ada kantung warna
hitam, tentu berisi sampah sisa makanan. Kantung itu dilempar ke bawah dan
jatuh empat meter di hadapan tiga warga pinggir rel. Nasi sisa, tulang-tulang
ayam goreng, ada juga paha ayam goreng yang masih utuh, potongan daging bakar,
berserakan di pelataran batu koral.
Siapa yang tahu maksud si pembuang sampah makanan
dari restoran kereta api? Apakah sisa makanan itu dilempar dan ditujukan kepada
tiga warga pinggir rel? Mahasuci Tuhan Yang Mahatahu. Mata anak laki-laki usia
lima tahun itu menyala dan membulat ketika melihat ada paha ayam goreng
tergeletak di antara serakan sisa makan. Dan anjing yang tadi kencing di dekat lampu
sinyal ternyata bergerak lebih cepat. Si anak tertahan. Apalagi si ayah menekan
pundak anaknya agar tidak melangkah.
Terasa ada semacam ketegangan. Anak laki-laki
warga pinggir rel itu merasa tangan ayahnya dingin dan sedikit gemetar. Maka
siapa yang tahu si ayah itu merasa cemas karena telah mengatakan anaknya boleh
kencing di mana pun di Jakarta asal tidak di dekat punggung emaknya? Apakah
kata-kata tadi didengar juga oleh mereka yang sedang berdiri di pintu kereta
api?
”Mari kita pergi,” kata si ayah kepada anak dan
istri atau apanya. ”Di sini kita malah jadi tontonan.”
Dalam satu menit ketiga warga pinggir rel itu
berkemas. Si ayah mengambil satu kotak kardus kecil dari bawah semak berdebu
yang meranggas. Si istri atau apa menyambar buntalan pakaian, dan si anak
laki-laki usia lima tahunan mengambil harta kesayangannya berupa bekas antena
kanopi radio. Kemudian ketiganya bergerak melawan arah datangnya kereta api.
Setelah agak jauh di sana mereka tertawa-tawa.
”Tadi selagi saya masih tidur kalian bicara apa?
Anak ini mau mengencingi Jakarta?” tanya si perempuan. Si ayah dan si anak
berpandangan, tersenyum lalu tertawa lebih lepas. Benar, tiga warga pinggir rel
itu menikmati hidup yang gembira dan merdeka.
http://print.kompas.com/baca/2015/09/13/Cerpen-Anak-ini-Mau-mengencingi-Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda