gambar:ilustrasi |
itulah situasi pelik yang mewarnai suasana batin si tokoh Aku dalam Cerpen “Pertengkaran Terakhir” karya Candra Malik. Anda tertarik? Silahkan membaca dan temukan jawaban anda sendiri.
Pertengkaran Terakhir (Candra Malik)
Perlu lima belas jam terbang untuk mendapati diriku jauh darimu dan lebih dekat pada rindu. Tetanggaku kini dua perempuan berambut pirang, satu darinya lebih tinggi dan memiliki seringai tawa lebih lebar dari satu lainnya.
Sempat kami akrab sebentar,
sangat sebentar, ketika sama-sama baru saja duduk di deret kursi nomor 31 dan
keduanya menyela kesibukan baruku membuka lembar-lembar koran De Telegraf,
sesudah menghabiskan majalah Holland Herald. Padahal, aku tidak membaca, melainkan
melihat-lihat saja gambar-gambarnya.
Entah menyapa bagaimana, dua
perempuan berkaus oblong dan bercelana panjang jeans ini menyangka aku pun
berbicara dalam bahasa Belanda. Saat melihatku hanya tersenyum sopan, dan
kujawab dengan bahasa Inggris ala kadarnya, mereka menjadi paham dan tak
mengajakku berbincang. Sesekali ketika perlu ke toilet, mereka permisi
melangkah melewati aku yang duduk paling pinggir dekat lorong. Selebihnya,
masing-masing asyik dengan remote berkabel yang menempel di belakang sandaran
kursi di depannya, memilih menu hiburan di layar.
karya Hanafi-http://print.kompas.com |
Beragam pilihan tersedia. Mulai
dari kanal Entertainment berisi highlights, movies, TV, musik, hingga games,
kemudian kanal Kids berisi movies, teens, TV Cartoons, TV Channels, CD’s,
Audiobooks, dan games, sampai kanal flight tracking yang meliputi gambar globe
dengan lintasan perjalanan yang telah ditempuh; 12 jam dari Kuala Lumpur ke
Amsterdam, kecepatan pesawat di angkasa, suhu di daratan dan di ketinggian
angkasa yang ditembus, laporan terkini cuaca, hingga pukul berapa akan tiba di
tujuan.
Tetanggaku dari Jakarta hingga
Kuala Lumpur adalah seorang laki-laki berkulit gelap yang rajin berdoa. Sejak
dari duduk hingga beranjak keluar kabin ke terminal C2 di bandara KLIA, ia
terus-menerus menangkupkan kedua tangan dan komat-kamit. Pun ketika pramugari
menawarinya pilihan, segelas plastik teh atau kopi, dengan susu atau gula,
tentu dengan bahasa Inggris, laki-laki itu tertegun sesaat lalu menoleh padaku.
Masih dengan mulut merapal wirid. Aku sampaikan pertanyaan pramugari
padanya,”Teh atau kopi?”
Baru sekali ini sepanjang
perjalanan satu jam pertama, kudengar suaranya. ”Ya, ya, mau. Kopi tanpa gula.”
Tidak keras suaranya, masih bercampur doa yang belum selesai ia baca, tapi
cukup jelas. Mungkin ia memohon minuman penghilang kantuk pada Tuhan, dan
doanya terjawab. Tidak kudapati ia naik pesawat KLM Royal Dutch Airlines KL
0810 seusai waktu transit yang cuma 30 menit. Dua perempuan Belanda itulah yang
menggantikannya. Tetangga di depanku masih dua perempuan Indonesia, ditambah
satu perempuan berambut gelap namun berbahasa asing. Dari aksennya berbicara,
aku menduga ia dari Italia.
Aku pergi darimu, dari
pertengkaran kita yang tak berguna, membawa rindu yang masih utuh. Bahkan kita
belum kumpul layaknya suami istri. Kau sibuk dengan anak-anak di kamar utama,
berdesak-desakan—namun itulah pengertian kita yang paling baru tentang
kehangatan. Sedangkan aku cuma bisa bergabung beberapa menit, lalu tenggelam
lagi dalam kesibukan mengejar tenggat tulisan. Tiba-tiba, pagi kemarin pecah
tangis si bungsu yang membelah pula kerukunan kita sejak beberapa hari dari
kepulanganku. Kita bertengkar.
Setiap kali bertengkar, setiap
kali itu pula kau menangis dan aku gagal berempati pada airmata. Entah mengapa,
tangis bagiku adalah pusaka, yang jika tidak sangat diperlukan maka tidak
usahlah digunakan. Di akhir babak, entah siapa yang lebih dulu meminta maaf,
biasanya kita lalu saling menyesali kebodohan masing-masing dengan segala
ucapan dan perbuatan yang konyol. Mulai dari berteriak, sampai membanting
pintu. Sudah bertahun-tahun kita begitu. Sejak anak masih satu, masih saja kita
tak tahu malu.
Malu aku pada sepasang laki-laki
dan perempuan Belanda berpostur tinggi besar itu. Di lengan yang laki-laki, ada
tattoo nama, mungkin nama perempuan yang ia peluk sejak menit pertama dua
manusia itu duduk di kursi nomor 30 di deret tengah. ELEANOR, dalam huruf latin
yang ayu. Yang perempuan memangku bocah laki-laki, setahun barangkali umurnya.
Menyusuinya hingga tertidur. Yang laki-laki melipat-lipat selimut biru yang
disediakan pramugari, menjadi alas tidur bayi mereka. Sang ayah lantas duduk di
lantai, sama rendah dengan bayinya, sedangkan ibunya tetap duduk di kursi.
Dihitung sejak berangkat dari
Cengkareng pukul 18.45, transit di Kuala Lumpur sejenak, dan terbang lagi
menuju Amsterdam, tiga kali sudah kami mendapat jatah makan. Yang pertama, mie
goreng dengan separo telur rebus, salad, roti, dan kue keju. Yang kedua, ayam
dengan pasta, salad, roti, dan kue coklat. Dan yang ketiga, dua potong telor
dadar beserta sepotong daging dan sosis, salad, roti, dan yogurt. Selalu aku
minta secangkir kopi selesai makan, tapi ada satu persoalan besar yang tak
pernah ada jalan keluarnya: di mana aku bisa menghisap tembakau? Tidak ada
jalan keluar, meski kursiku dekat pintu darurat.
Melewati malam di angkasa, dengan
turbulensi beberapa kali, akhirnya toh aku bisa tertidur. Ingin sekali kupeluk
perempuan Belanda yang duduk di kursi tengah, di sampingku, sayangnya ia bukan
kau. Kami bahkan tak saling berkenalan. Tapi, tubuhnya menjorok padaku,
memberiku punggung, seperti memberi isyarat untuk merangkulnya. Ah, perempuan
dan pelukan memang seperti oksigen dan paru-paru. Jika tak menghirupnya,
matilah manusia. Jika menghirupnya, hiduplah kita dalam ketergantungan luar
biasa.
Seorang perempuan tua, bermata
sipit, bersenyum lebar, dan berlindung pada syal dan selimut dari serangan
dingin yang menusuk tulang, semula acuh saja pada kiri-kanannya, sampai
kemudian ia terkekeh pada lelaki kekar bertato singa di lengan kirinya.
Laki-laki itu membotaki kepalanya, menyisakan sedikit rambut untuk dikuncir. Ia
begitu bersemangat melahap kerupuk dalam plastik sambil terus menonton film di
layar di depannya. Kerupuk khas Malaysia, barangkali. Yang pasti, ia tak menghiraukan
apa pun, mungkin juga pada hausnya sendiri. Ah, betapa serak tenggorokan jika
dipakai menelan kerupuk sedemikian banyaknya tanpa minuman sama sekali.
Laki-laki itu mungkin biksu.
Sejak awal, aku sudah mencurigai itu. Atau mungkin ia pendekar. Tapi, dari
sikapnya yang sangat sopan ketika permisi melangkahi ibu bermata sipit itu
untuk pergi ke toilet, mungkin laki-laki itu guru yang penuh budi pekerti dan
ilmu yang mumpuni. Tapi, belum tentu ia sanggup hidup di Jawa. Dengan gaya
kuncir dan kepala botak seperti itu, ia akan jadi bahan olok-olok dan tertawaan
dari mulai anak sekolah dasar sampai profesor. Dari pejalan kaki sampai
pengendara mercy. Mungkin bahkan ia disangka gila, atau seniman gagal.
Satu lagi yang terlambat
kusadari, laki-laki mirip biksu itu komat-kamit pula. Entah berdoa, entah
merapal mantra. Yang kulihat, sejak tak lagi mengambil kerupuk besar sampai
yang remah-remah, kini tangan kanannya masuk ke sebuah kantong kecil. Kain putih.
Ketika ia bergeser posisi duduk, kucuri pandang ke arah tangannya yang sibuk
itu: ternyata sedang menggerakkan jari-jemarinya pada biji-biji tasbih. Di
antara keramaian orang-orang, yang sebagian mulai beranjak dari kursi, ada
ternyata satu orang yang tak berhenti memuja.
Tapi, ia tidak sendiri berdiri
mengantre di depan toilet. Pagi, ketika jam mulai bangun tidur, hilir-mudik
penumpang ke toilet menjelma ajang rerumpian di kampung. Dan yang ini lebih
menarik lagi. Mereka tak saling kenal, namun bertegur-sapa, ngobrol tentang apa
saja, sama-sama pula mengeluhkan entah siapa orang yang terlalu lama di dalam
kakus, dan suasana seperti ini tak ada di toilet pesawat-pesawat di jalur
penerbangan dalam negeri di Indonesia, apalagi di kereta-kereta api yang menusuk
hidung aroma toiletnya. Mengantre di bordes, ah, apa enaknya, apalagi tak boleh
lagi merokok meski di sambungan kereta.
Aku duduk di kabin kelas ekonomi.
Sisi kiri-kanan kabin ini masing-masing tiga kursi, sisi tengah empat kursi.
Berderet ke belakang 15 baris, dan ada tiga kabin di pesawat ini, belum
termasuk kabin kelas bisnis. Para pramugara dan pramugari dalam penerbangan ini
menyenangkan dan sopan. Membagi-bagikan tisu basah, menawarkan tambahan minum,
dan membolehkan penumpang membawa majalah Holland Herald. Earphone juga tak
harus dikembalikan.
Kita tak seharusnya bertengkar,
dan aku tak pula seharusnya pergi sendiri. Dua kawanku membawa istri. Pasangan
yang satu telah memiliki anak dan yang satu lainnya masih pengantin baru, belum
dua bulan mereka menikah. Kepergianku memang atas ajakan mereka, dan kebetulan
kita kemarin bertengkar. Ah, tapi mana ada yang kebetulan dalam kehidupan ini?
Sudah sebelas tahun kita menjadi suami-istri, empat anak kita, dan satu di
antaranya laki-laki. Pada kalian, aku mungkin terlalu sering marah, sesering
aku pergi dari rumah. Tapi, barangkali memang beginilah hidup: lebih mudah
tersenyum pada orang yang tidak kita kenal. Dan beginilah hidupku.
”Tidak ada yang mengerti kita.
Berharap orang lain mengerti justru bikin kecewa,” katamu. Transit di bandara
Schiphol, Amsterdam, baru kusadari kau mengirim pesan pendek.
Memantik api, menyalakan tembakau
di Rookruimte, ruang merokok di bandara, kubaca kalimatmu tegas dan tegar.
”Kalau mau marah, marah saja. Kalau mau menangis, menangis saja. Aku pun letih
luar biasa, tapi apa ada yang percaya?” serumu. Aku jadi ingat tatapan matamu
yang berapi-api, setiap kali pertengkaran kita dimulai.
Duduk di lounge, menghadap ke
dinding kaca yang tembus pandang ke landasan, kulihat kesibukan di Schipol
sudah dimulai sejak matahari masih semburat di timur. Tidak kalah sibuk dari
Cengkareng, tapi lebih cekatan dan rapi. Kusebut kehidupan di atas pesawat tadi
sebagai Kampung Amsterdam. Lebih dari seribu orang terbang ke tujuan yang sama
dalam sebuah pesawat berbadan biru. Dan, hiruk-pikuk di bandara ini selayaknya
disebut Kecamatan Schipol. Dari balik jendela, ketika pesawat membawaku ke
Roma, tujuan berikutnya, kulihat ke bawah berderet rumah-rumah rapi tertata,
persegi-persegi panjang lahan persawahan, dan kota yang sepi lalu-lalang. Beda
benar dari Jakarta.
Aku percaya kau capek. Di rumah
melulu ternyata juga bisa melelahkan, bahkan sangat. Tapi, kau tidak
benar-benar selalu di rumah saja sebenarnya. Berapa kali dalam sebulan kau
keluar, mulai dari sekadar jalan-jalan, nonton film di bioskop, belanja, sampai
hal-hal yang remeh-temeh dengan kawan-kawanmu yang kalian namai arisan itu,
atau reuni, atau entah apa. Semoga kau pun percaya, keluar rumah, entah untuk
bekerja atau berpetualang, terasa menyenangkan hanya pada permulaan. Lama-lama
meletihkan. Membosankan. Turun-naik pesawat, keluar-masuk kafe dan resto, atau
warung kaki lima, dan bermalam di hotel itu menjenuhkan.
Tak ada yang lebih kurindukan
daripada kalian, rumah, dan makanan apa pun yang kau masak. Aku ingin pulang
dan berhenti pergi. Ingin tidur cukup, main dengan anak-anak, menemanimu nonton
televisi melewati malam, dan mengisi waktu untuk menulis. Tapi, aku ingin di
rumah bukan untuk bertengkar. Hidup rukun dan berhasil membuatmu, membuat
kalian bahagia, adalah niat terbaik yang pernah kubatin, dan cita-cita yang
terus kuperjuangkan. Hanya saja, pernah terlontar dari bibirmu betapa kau lebih
tenang jika aku di luar rumah saja. Pergi. Yang lama. Agar tak ada yang suka
mengatur-atur, dan marah-marah. Dan, tentang pertengkaran kita yang terakhir,
kau mengirim pesan pendek yang kubaca sebelum di bandara sebelum ke Roma. Kau
berkata, ”Aku mungkin memendam sampai akhirnya meledak dan marah betul. Aku
tidak menyesal.”
Pertanyaan terbesar dalam hidupku
adalah mengapa kau sama sekali tidak pernah tampak takut padaku. Bahkan dalam
cinta dikenal rasa takut. Kini, kau bahkan terang-terangan mengatakan tidak
menyesali kemarahanmu, begitu pula perasaanmu atas pertengkaran kita. Padahal,
aku masih laki-laki yang sama: masih menyesali pertengkaran, kemarahan, dan
siap menerimamu kembali ketika kau minta maaf. Tapi, dalam pertengkaran kita
yang terakhir, kukatakan, ”Kau tak perlu memohon-mohon maaf padaku lagi. Sudah
aku maafkan sedari sekarang.”
Semoga, ini pertengkaran kita
yang terakhir. Semoga membawa kita pada penyesalan. Bukan pada perpisahan. Aku
ke Italia hanya satu pekan, semoga pula kau masih menghendaki perjumpaan. Meski
aku merasa kau menunjukkan sikap terhadapku untuk berhenti percaya, semoga itu
bukan berarti terhadapku kau mulai curiga. Berhenti mencintai toh tidak harus
mulai membenci. Lagipula, aku masih mencintaimu. Jika kau bilang bahwa
anak-anaklah yang membuatmu bertahan, maka kukatakan hal yang kurang-lebih
sama. Tapi, pertahanan jangan sampai dijadikan pelampiasan.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/30/Pertengkaran-Terakhir
Berita Lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda