Oleh : Willy Seda, S. Fil.
Peringatan akan tragedy pilu
Mei 1998 umumnya bertemakan satu hal : MELAWAN LUPA! Mengapa tema ini diangkat?
Apakah ini suatu kemendesakan? Lupa
bagaikan musuh yang siap menyerang dan menghapus ingatan kita akan masa lalu; dan
karena itu kita harus melawan. Kalau tidak kita adalah generasi yang melangkah
ke depan tapi tidak meninggalkan jejak. ATau? Mungkin jejak-jejak kita telah
dihapus dan diganti dengan jejak-jejak yang lain?
Ada suatu
teori yang mengatakan bahwa manusia lupa bukan karena kehilangan memori tetapi
karena informasi lainnya menghalangi hal yang ingin diingati (interference theory). Teori ini, bersama dengan teori
kemerosotan (decay theory), diajukan sebagai sebab-sebab mengapa manusia
dapat melupakan sesuatu. Menurut teori ini, terdapat dua jenis
"pengganggu" (interference, interferensi): interferensi
proaktif dan interferensi retroaktif. Interferensi proaktif terjadi ketika
informasi yang dipelajari sebelumnya mengganggu pengingatan kembali suatu hal
yang dipelajari kemudian. Ini dapat menjadi bermasalah ketika informasi yang
baru tidak dapat digunakan dengan benar akibat diganggu informasi lama.
Interferensi retroaktif adalah kebalikan dari interferensi proaktif, di mana
informasi baru mengganggu informasi lama.
Dalam dunia kedokteran kegagalan
daya ingat yang parah disebut amnesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
amnesia sebagai keadaan kehilangan daya ingat terutama tentang masa lalu atau
masa sebelumnya karena kelumpuhan otak atau karena cacat lain yang menyebabkan
gangguan otak.
Dari definisi di atas di
manakah posisi generasi zaman ini? Apakah kita sedang melupa atau lebih parah
jangan sampai kita sedang terjerembab dalam kubangan amnesia kolektif?
![]() |
gambar : ilustrasi |
Teori interferensi dan
teori kemerosotan tidak bermaksud mempertanggungjawabkan kelemahan daya ingat
manusia. Dua teori ini justru menjelaskan sebab musabab terjadinya lupa. Kemampuan
otak manusia jauh melebihi ratusan unit computer. Thomas Alfa Edison
penemu lampu pijar dan si Jenius Einstein hanya menggunakan 4 % dari kemampuan otaknya dan berhasil
meletakan dasar bagi kemajuan dunia elektrisitas dan fisika modern hingga kini. Itu artinya
sebenarnya manusia diciptakan untuk tidak mudah lupa. Memori atau ingatan
manusia tidak hilang tetapi dihalangi. Bukankah ini yang sering terjadi di
zaman orde baru? Strategi membuat kerusuhan sana-sini untuk memindahkan
perhatian massa dari perhatian terhadap pejabat public sipil dan militer yang semestinya
diadili, sudah menjadi tontonan lumrah di televisi. Ujung-ujungnya adalah hukum
jadi buntung. Peradilan tidak berjalan. Ingatan public dipusatkan pada
kerusuhan. Rakyat kecil tetap menjadi korban- dan malangnya mereka dilupakan.
Hemat saya gerakan melawan lupa mesti menjadi
semboyan bagi tiap generasi yang ingin hidup dalam kejelasan sejarahnya. Ini suatu
kemendesakan. Kita tentu saja tidak mau ingatan kita diganti oleh para penyeleweng ingatan yang menyebabkan penggalan-penggalan memori yang sudah
dilewati menjadi susah diterjemhakan dalam ingatan. Terlebih
lagi kita tidak mau kehilangan daya ingat yang berarti juga kehilangan akan kemampuan untuk mengumpulkan
memori yang telah tecetak dalam sejarah. Kalau hal itu terjadi maka kita akan
masuk dalam sejarah bayang-bayang. Yang ada hanyala
kekaburan tanpa makna. Pada titik ini kita akan menjadi bangsa yang amnesia-is.
Bangsa seperti ini adalah bangsa yang kehilangan daya ingat kolektifnya. Bangsa seperti ini adalah bangsa yang a-historis.
Selain itu gerakan melawan lupa adalah upaya “pengenangan
akan korban”. Banyak tragedy di Indonesia menyisakan banyak korban. Tidak
sedikit dari para korban sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Mati tanpa
pusara, hilang tanpa jejak. Berdirinya demokrasi hingga saat ini adalah juga
karena korban mereka. Karena itu nasib mereka yang “dihilangkan” tanpa jejak
harus jelas. Di era seperti sekarang ini, dengan kemapanan pemerintahan dan
teknologi yang canggih semestinya para “korban anonym” itu mendapat keadilan. Biarkan
yang telah bepulang beristirahat dalam damai, sendangkan yang diculik dan
dibuang dipulangkan ke keluarganya.
Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi
bagaimanapun ini adalah tugas dan tanggung jawab Negara. Kalau tidak, untuk apa
kita bernegara karena tugas negara adalah melindungi warganya. Negara harus
bertindak. Mesti ada yang bertanggung jawab untuk setiap tragedy yang
mengorbankan anak bangsa. Yang dituntut generasi sekarang ini dan nanti adalah kejelasan sejarah. Negara ini
tidak boleh mewariskan sejarah buram tanpa kejelasan. Sejarah yang buram tidak
sama dengan sejarah yang hitam dan kelam. Setiap bangsa memiliki kekelaman
dalam sejarahnya. Pengetahuan akan penyebab kekelaman sejarah menjadi
antisipasi bagi generasi kemudian agar tidak mengulangi kekelaman yang sama.
Sebaliknya bangsa yang memilik keburaman sejarahnya tidak bisa mengambil
langkah apapun sebelum menjernihkan keburaman sejarahnya.
Pada bulan Juli mendatang Kita akan menuju
Pilpres. Hemat saya tugas kita yang pertama adalah “jangan lupa sejarah”! Para
kandidat pemimpin kita harus mempunyai rekam jejak yang tidak memburamkan
sejarah bangsa ini. Karena itu para pemilih hendaknya proaktif mencari kumpulan
rekam jejak para calon pemimpin. Para pemimipin yang terekam melakukan tindakan
pengaburan sejarah mesti secara gentel mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pertanggungjawaban seperti ini akan menjadi garansi bagi masyarakat bahwa sang
pemimpin tidak akan melakukan hal serupa di saat mendatang, apapun keadaannya.
Salah seorang pemimpin Negara ini menuliskan
statusnya FB-nya kira-kira sebagai berikut, Untuk apa kamu berkutat pada masa
lalu kalau kamu adalah milik masa depan?”. Entah apa maksud pernyatan ini. Akan
tetap hemat saya pernyataan seperti ini adalah ajakan untuk melupakan masa
lalu. Melupakan masa lalu sama artinya melupakan sejarah dan serentak menghapus
rekam jejak yang telah lewat. Bisa jadi juga ini merupakan seruan “pemutihan”
jejak hitam para penjahat sejarah (karena bangsa ini juga adalah bangsa pemaaf
yang menjunjung tinggi kesantunan). Akan tetapi persolannya memaafkan para
penjahat sejarah, memutihkan jejak hitam para pembelok ingatan kolektif serentak
adalah tindakan viktimisasi korban. Para korban tak berpusara dan tak berjejak
janganlah dijadikan korban lagi dengan melupakannya dari ingatan historis kita.
Mengakhiri tulisan ini saya mengutip apa yang
pernah diucapkan seorang teman ikhwal mengingat dan lupa. Yang pertama, Banyak mengingat
= banyak melupa; yang kedua, sedikit mengingat = sedikit melupa; yang ketiga,
tidak mengingat = tidak melupa.
Yang pertama adalah tipe orang yang menggunakan
otaknya untuk mencari dan terus mencari walaupun berkemungkinan untuk melupakan
yang pernah dicari dan diingatnya.
Yang kedua adalah tipe orang yang punya otak
tapi menggunakan seadanya saja. Karena itu yang diingatnya sedikit tetapi yang
dilupakannya juga sedikit.
Yang ketiga adalah tipe orang yang mempunyai
otak tapi tidak menggunakannya atau otaknya tidak berfungsi-bisa jadi karena
otaknya “dicuci”. Baginya sejarah adalah kosong.
Anda termasuk yang mana? Saya berharap anda
termasuk agen-agen yang mengingat sejarah, melawan lupa sehingga tidak
terserang amnesia dini- demi para korban yang tak berpusara dan tak berjejak-
dan demi kejelasan sejarah bangsa ini.***
Tulisan ini tidak bermaksud memojokan kandidat capres dan cawapres tertentu pada pilpres mendatang. Ini adalah murni upaya melawan lupa secara kolektif.
berita lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda