Blogger Widget
Terima Kasih Telah Berkunjung Ke PIMR, Kunjungan Anda Adalah Dukungan Anda, PIMR Membuka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Siapa Saja Yang Mau Bergabung, Mempunyai Minat, Memiliki Kesamaan Visi & Misi Membangun Daerah Manggarai, Dengan Menaikan Status Blogspot Ini Menjadi Situs Informasi Resmi Bagi Masyarakat Manggarai

Kamis, 15 Mei 2014

Mencurigai Gagasan Maria Perawan Bunda Allah : sebuah kemaslahatan bagi perkembangan feminisme Kristen atau sebuah upaya distansiasi ekslusif atas Maria dengan Kaumnya? (bagian I)

Oleh: Willy Seda, S. Fil.
Tulisan ini adalah sebuah refleksi kritis atas penempatan Maria sebagai model iman Gereja katolik. Penulis menggunakan filsafat dan teologi feminis sebagai pisau bedah untuk menggumuli gelar Maria Perawan Bunda Allah. Semoga para pengunjung PIMR dapat berpikir bersama penulis supaya wawasan iman dan pengetahuan kita semakin diperluas.


Pendahuluan
Judul tulisan ini berbentuk pertanyaan yang hendak mengkritisi instalasi gelar Perawan Bunda Allah atas diri Maria. Pertanyaan ini adalah sebuah kecurigaan yang menggugat kemapanan konsepsi yang telah sekian lama ditradisikan dalam perjalan sejarah gereja katolik. Pertanyaan seperti ini penting diajukan ketika kita berhadapan dengan implikasi praktis pemasangan gelar-gelar ilahiah atas diri Maria yang menjadi proto tipe bagi kaum perempuan yang sekian sering hakikat keperempuanannya yang semestinya setara dengan hakikat kelaki-lakian dibetoti. Yang perlu dikritisi adalah : apakah pelbagai penggelaran mulia atas diri Maria merupakan sebuah langkah maju dalam upaya menampilkan Allah yang tidak bias gender, Allah yang dalam diriNya menampung semua gender baik femininum maupun maskulinum ataukah sebuah mosi rengsek mundur yang secara simultan mengangkangi gerakan pe-nampilan Allah yang holistik itu sendiri?
Dalam penggumulan keraguan serentak kecurigaan atas instalasi gelar Perawan Bunda Allah atas Maria, saya akan mengedepankan diskursus pemikiran antara Gadamer dan  Habbermas. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini dipilih. Yang pertama, Gadamer dipilih karena sejak dia sejarah hermeneutik mengalami perkembangan. Gadamer menekankan pentingnya relasi pertanyaan dan jawaban. Orang perlu bertanya agar memperoleh jawaban.  Penjelajahan pertanyaan guna memperoleh  jawaban terjadi dalam sebuah pengalaman. Dengan meng-alami orang menyadari. Kesadaran akan pengalaman mengindikasikan sebuah keterbukaan akan apa yang sedang dialami. Keterbukaan untuk menyadari apa yang sedang dialami melahirkan kemauan untuk memahami. Yang kedua, Gadamer menegaskan determinisme manusia dalam tradisi. Meskipun pemahaman merupakan sebuah keterbukaan untuk menerima dan mengalami yang lain akan tetapi manusia terlebih dahulu mempunyai pemahaman awal (pra pemahaman) yang memungkinkan dia menangkap apa yang disampaikan yang lain. Pra pemahaman itu adalah condition sine qua non yang memungkinkan pemahaman. Karena itu manusia tidak pernah membawa ‘papan kosong’ dalam menerima yang lain. Papan itu senantiasa telah tertulis meski tanpa dikehendaki manusia. Itulah yang terjadi dengan tradisi. Mansia seakan terlempar dalam tradisi. Bukan manusia yang membentuk tradisi tetapi tradisilah yang membentuk manusia. Akan tetapi justru inilah yang menjadi buah kritikan Habbermas atas konsepsi pemikiran Gadamer. Penegasan berlebihan atas superioritas tradisi melahirkan penindasan. Tradisi selalu berkaitan dengan kebiasaan bersama, konsesus yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Tradisi adalah ideologi, spiritualitas yang mempunyai otoritas. Otoritas selalu mengikat dan seringkali juga menindas. Karena itu tradisi harus dikritisi dan dicurigai. Hanya dengan mengkritisi tradisi, kebekuan idelogi yang dominatif dapat dicairkan. Tradisi yang memberi dirinya untuk ditafsir ulang adalah tradisi yang menghargai pembaruan. Tradisi seperti ini berciri emansipatif. Hanya tradisi seperti inilah yang layak ditradisikan karena ia membebaskan orang dari keterkungkungan.
Perawan Bunda Allah adalah juga sebuah tradisi yang mempunyai otoritas. Kekuatan otoritasnya berlaku dalam komunitas agama katolik Roma yang menjadikan Maria sebagai perempuan istimewa karena pelbagai kualitas kepribadian yang dimilikinya. Namun sekali lagi yang harus dipertanyakan apakah gelar ini adalah sebuah terobosan progresif yang menopang eksistensi esensial perempuan secara universal sebagai mahluk bermartabat di hadapan Allah atau jangan-jangan ini merupakan sebuah idealisasi utopis yang justru membuat garis demarkasi antara Maria dan kaumnya?

Maria Perawan Bunda Allah 
Siapakah Maria dalam bingkai pemikiran kristen kontemporer?     Pertanyaan ini akan mengantar kita pada pergumulan soal posisi Maria sebagai Bunda Allah yang tetap perawan, suatu simbolisasi ilahiah yang berupaya mempertegas feminitas Allah. Keempat Injil sepakat menyebut Ibunda Yesus dengan nama Maria tetapi digambarkan secara berbeda-beda. Injil Lukas secara khusus melukiskan Maria sebagai seorang anak dara yahudi yang dipanggil untuk mengambil bahagian dalam rencana keselamatan Allah. Malaekat Gabriel berkata kepadanya, “Hai Maria, engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaknya kaunamai Dia Yesus.” (Luk 1 : 30-31). Penulis injil Matius menggunakan nubuat nabi Yesaya untuk menggambarkan ibu manusiawi dari Sang Imanuel yang akan segera lahir, “sesungguhnya anak dara itu akan segera mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel- yang berarti Allah menyertai kita”(Mat 1 : 23).

Kedua kisah ini memberi gambaran tentang keistimewaan dari perempuan yang akan dipilih menjadi ibu manusiawi sang Imanuel. Maria terpilih menjadi ibu sang Imanuel itu. Oleh karena itu semestinya Maria memiliki keistimewaan seperti yang telah dinubuatkan nabi Yesaya bahwa ia akan mengandung dalam keperawanan.

 Ayat-ayat tentang kisah kelahiran sang Imanuel di atas sebenarnya lebih berkaitan dengan masa kanak-kanak Yesus ketimbang berkisah tentang Maria. Informasi tentang Maria sendiri sangat minim. OLeh karena itu untuk melengkapi kekurangan itu Proto Injil Yakobus menghadirkan gambaran tentang ‘kisah kelahiran Maria’, nama kedua orang tua Maria dan pemilihan Yusuf sebagai suami Maria. Akan tetapi Proto Injil Yakobus ini dianggap apokrif sehingga tidak diterima dalam kalangan gereja katolik.[1] Walaupun demikian paparan dalam injil ini telah menjadi sumber pelukisan yang artistik tentang Maria dan devosi populer kepada Maria kelak. Maria menjadi model, inspirator, pengayom, pendamai justru karena pelbagai kisah-kisah unik tentang perjalanan hidupnya, terlebih karena dia adalah perawan dan bunda Allah.

Ada tiga aspek penting[2] yang termaktub dari keperawanan Maria yang diwariskan sekian lama dalam tradisi gereja katolik:
  • Virginitas ante partum, keperawanan sebelum partus: Maria mengandung Yesus tanpa persetubuhan dengan seorang pria, hanya oleh pernaungan Roh Kudus.
  •  Virginitas in partum, keperawanan ketika melahirkan: secara ajaib Yesus dilahirkan tanpa merusakan keutuhan keperawanan ibunya 
  •   Virginitas post partum, keperawanan setelah melahirkan: setelah melahirkan Yesus Maria tidak pernah bersetubuh dengan orang lain dan tidak melahirkan anak lain.
Keperawanan Maria tidak pernah secara formal didefenisikan oleh gereja. Akan tetapi kebenaran ini khususnya point pertama (virginitas ante partum) tetap dipegang teguh oleh gereja. Hal ini terungkap secara jelas dalam syahadat yang disahkan dalam konsili Nicea dan Konstantionopel dan didaraskan oleh sebagian besar umat kristen timur dan barat sampai sekarang yakni, “…….dan akan Yesus Kristus…… yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria”.[3] Keyakinan ini telah dipertahankan umat Ortodoks Timur dan umat katolik Roma berabad-abad lamanya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikisahkan Lukas dalam injilnya (Luk 1 : 35), Maria mengandung Puteranya dari Roh Kudus tanpa pengaruh sedikit pun dari seorang ayah manusiawi. Dengan ini mau ditekankan inisiatif Allah sebagai penggagas tunggal karya penyelamatan atas diri manusia.  Manusia dilibatkan sejauh dipilih oleh Allah. Karya keselamatan atas manusia itu memang terjadi atas kerjasama Allah dan manusia. Akan tetapi inisiatif untuk memilih manusia pertama yang terlibat dalam karya maha agung Allah itu ada pada Allah dan Allah memilih rahim anak dara (perawan) untuk memulai proses menjadi manusia.

Konsep Virginitas in partum, keperawanan ketika melahirkan yang menegaskan bahwa Yesus secara ajaib dilahirkan tanpa merusakan keutuhan keperawanan ibunya, agaknya kurang dipertahankan oleh para penulis kristen pada pertengahan abad ke-3. Irenius, Klemens dari Alexandria dan Origenes bahkan berpendapat bahwa Maria melahirkan dengan cara amat alamiah. Itu juga tidak bertentangan dengan keperawanannya. Pada abad ke-4 para penulis kristen juga belum terlalu menganggap penting konsepsi ini. Walaupun demikian sudah mulai ada beragam pandangan atasnya. Basilius mengatakan bahwa Maria tidak pernah berhenti menjadi seorang perawan dan ibu. Namun Gregorius Nysa menekankan bahwa Maria tidak ikut serta dalam kenikmatan indrawi sebelum melahirkan dan dalam kesakitan selama melahirkan seperti perempuan-perempuan lain. Amfilokius dari Ikonium, murid Gregorius Nyssa mengatakan bahwa gapura keperawanan Maria tidak terbuka sama sekali. Cara Yesus dilahirkan terjadi secara tak terkatakan. [4] Baru pada Konsili Efesus (431) guna melawan ajaran Nestorius, Maria Bunda Allah secara resmi diterima sebagai dogma. Dengan demikian kesucian dan keperawanannya diluhurkan baik sebelum, selama maupun sesudah melahirkan.[5] Kebenaran iman ini kemudian menjadi dasar bagi penggelaran Maria dengan atribut mulia yang menjadikan dia sebagai pribadi yang luar biasa, model bahkan “super model” bagi manusia seluruhnya dan secara khusus bagi kaum perempuan.
Virginitas post partum menjadi masalah yang mengernyitkan dahi dan diperdebatkan di antara umat kristen selama 2000 tahun. Salah satu sumber penyebab perdebatan itu didasarkan atas Mat 13 : 55, “Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudaranya: Yakobus, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita?” Nats ini menunjukkan bahwa Yesus ‘manusiawi’ bukan putera tunggal Maria (dan Yusuf). Ia masih mempunyai beberapa saudara dan saudari. Dengan demikian konsepsi virginitas post partum dengan sendiriya runtuh.
Untuk mengatasi hal ini Proto Injil Yakobus berusaha menampilkan Yusuf sebagai seorang duda. Ia sudah mempunyai anak dari isterinya yang terdahulu. Ketika ia mengambil Maria usianya sudah uzur sehingga tidak bisa mengadakan hubungan laiknya suami isteri dengan Maria. Karena itu Yusuf lebih memainkan peran sebagai “penjaga” dari pada sebagai seorang suami dalam konteks yahudi.[6] Tentu saja tawaran solusi Proto Injil Yakobus terlalu menyederhanakan persoalan. Tradisi kristen lebih menerima bahwa Maria memilih tetap perawan setelah melahirkan Yesus. Hal ini terungkap dalam apa yang ditulis Origenes, “Tak seorang pun yang berpandangan tepat tentang Maria akan mengatakan bahwa Maria mempunyai anak selain Yesus. “Keyakinan itu begitu berakar dalam tradisi kristen. Alasannya  ialah bahwa oleh penjelmaan Putera Allah, tubuh Maria menjadi begitu suci. Ia menjadi kenisah bagi Roh Kudus dan Putera Allah. Kekudusan yang diperoleh Maria itu tak dapat ditarik kembali. Kekudusan itu bersifat abadi. [7]
Meskipun pelbagai gelar yang dipasang Maria termasuk Perawan Bunda Allah merupakan kebenaran iman akan tetapi sulit menemukan dasar historisnya. Gereja kristen hanya berusaha mencari alasan teologis untuk menjelaskan kebenaran pelbagai instalasi gelar itu termasuk di dalamnya kenyataan biologis historis keperawanan Maria. Gereja menemukan ada kebenaran teologis yang sentral bagi agama kristen sesuai dengan kenyataan itu. Roh Kudus yang menaungi Maria sehingga ia mengandung dapat diperbandingkan dengan Shekinah Allah pada Perjanjian Lama. Allah turun dalam bentuk awan menaungi kemah tempat tabut perjanjian. Analog dengan itu kini Maria menjadi kemah bagi tabut Sabda yang menjelma itu dan dengan demikian Roh Kudus menaunginya. Penaungan Roh Kudus itu merupakan gambaran tindakan penciptaan dari pihak Allah. Sama seperti Roh Allah yang melayang-layang di atas samudera purba lalu menciptakan seluruh kosmos demikian Roh Allah yang sama turun ke atas Maria membangkitkan suatu kehidupan baru dari rahim perawan Maria. Di sini keperawanan adalah lambang ketaksanggupan ciptaan untuk menciptakan hidup baru dari dirinya sendiri. Lebih dari itu jika direfleksikan dari pihak Maria keperawanan lebih menggambarkan penyerahan diri secara badaniah seutuhnya kepada Allah. Penyerahan diri badaniah secara total ini memperlihatkan juga sikap rohani yang bergantung pada Allah. Atas dasar penyerahan secara total seluruh eksistensinya jasmani dan rohani, Gereja mengakui Maria sebagai tetap perawan yang sepanjang umurnya tidak lagi melahirkan anak lain selain Yesus.[8]
(bersambung...) 

berita lainnya

[1] Clifford, M. Anne, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), P. 304.
[2] Kirchberger, Georg, Dogma-dogma Tentang Maria dalam Maria, seri buku Pastoralia (Maumere: STFK Ledalero, 1988). P. 85.
[3] Maloney, A. George, Maria Rahim Allah, (Jogyakarta : Kanisius, 1990), P.43.
[4] Ibid. P.45.
[5] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referenesi, (Jakarta: Obor dan Yogyakarta: Kanisius, 1997), P.232.
[6] Maloney, George A. Op.Cit. P.44.
[7]Loc. Cit.
[8] Kirchberger, Georg. Op. Cit. PP.88-89.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda