Blogger Widget
Terima Kasih Telah Berkunjung Ke PIMR, Kunjungan Anda Adalah Dukungan Anda, PIMR Membuka Pintu Selebar-lebarnya Bagi Siapa Saja Yang Mau Bergabung, Mempunyai Minat, Memiliki Kesamaan Visi & Misi Membangun Daerah Manggarai, Dengan Menaikan Status Blogspot Ini Menjadi Situs Informasi Resmi Bagi Masyarakat Manggarai

Jumat, 16 Mei 2014

Mencurigai Gagasan Maria Perawan Bunda Allah : Sebuah Kemaslahatan Bagi Perkembangan Feminisme Kristen Atau Sebuah Upaya Distansiasi Ekslusif Atas Maria Dengan Kaumnya? (Bagian II)



Tulisan ini adalah sambungan dari refleksi kritis atas penempatan Maria sebagai model iman Gereja katolik. Penulis menggunakan filsafat dan teologi feminis sebagai pisau bedah untuk menggumuli gelar Maria Perawan Bunda Allah. Semoga para pengunjung PIMR dapat berpikir bersama penulis supaya wawasan iman dan pengetahuan kita semakin diperluas.
 
Maria Perawan Bunda Allah: gerakan devosinal sesudahnya
Simbolisasi Maria sebagai perawan tersuci dan Bunda Allah menyata dalam pelbagai devosi yang marak berkembang hingga saat ini. Cara-cara orang Romawi dan Yunani menyembah dewi-dewi diadopsi dan dikenakan pada Maria. Arca-arca Maria dihiasi dengan mantel biru dan mahkota dewi serta dihubungkan dengan bulan dan bintang-bintang. Maria dilukiskan bak seorang ratu yang menghunjukan anaknya ke dunia. Ikonografi ini serupa dengan dewi isis dan puteranya, Horus. Doa-doa serta litania yang dulu dialamatkan pada dewi-dewi pra kristen kini dialamatkan pada Maria, sebagai ratu surga.[1]
Saya kira hal ini pulalah yang menjadi salah satu sebab yang melatari serangan kaum reformis pada abad ke-16. Penggambaran Maria dengan pelbagai simbol keilahian telah mengambil ofer perhatian yang semestinya dialamatkan kepada Kristus semata. Lebih-lebih ketika gerakan devosinal ini mengalami peralihan dari venerasi menjadi adorasi. Kehakikian Maria sebagai perempuan Yahudi bersahaja seakan dibetoti. Ia seakan tampil sebagai perempuan ‘perkasa’ yang penuh dengan aksesoris ilahiah. Dan karena dia adalah model ideal yang harus diteladani setiap manusia lebih-lebih kaum perempuan, orang berusaha menggapai ‘keperkasaan’ yang dimiliki Maria. Akan tetapi karena idealisasi Maria melampaui kesanggupan gapaian mereka maka ‘kemuliaan’ Maria seakan tertutup dalam dirinya. Para perempuan sederhana tidak bisa meneladani perawan mulia yang ‘didandani’ melampaui kesangguapan mereka untuk menggapainya. Akan tetapi toh mereka tetap berdevosi juga.
Gereja menanggapi ekses negatif dari gerakan devosional ini dengan mengembalikan posisi Maria pada tempatnya yang semestinya. Paus Yohanes XXIII menekankan, “Sang Madona tidaklah senang bila ia ditaruh di depan Puteranya.” Yesus harus menjadi lebih besar dibandingkan Maria karena ia hanyalah kenisah dari tempat berdiamnya Sabda Allah itu sendiri. Selanjutnya Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (1964) secara lebih tegas lagi berbicara tentang posisi Maria yang menduduki tempat paling mulia setelah Kristus dan serentak paling dekat dengan kita (no. 54).[2]
Seruan Paus Yohanes XXIII untuk  megembalikan Maria pada posisinya yang benar sudah hampir berusia setengah abad. Akan tetapi sampai sekarang pun praksis kehidupan devosional umat kristiani kepada Maria masih ditandai kenyataan penempatan Maria pada posisi yang serba mahamulia. Ratu Rosari itu seakan bukan saja dihormati tetapi disembah. Terlepas dari benar tidaknya aparasi atau penampakan Maria yang ‘terjadi’ di mana-mana sering ditampilkan dengan hal-hal ajaib menakjubkan. Dan bukan hal yang mengejutkan kalau sebahagian umat kristiani menaruh perhatian besar pada peristiewa-peristiwa macam itu.
            Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus dan diimani oleh oran kristen adalah Allah yang revelatoris. Allah menyatakan dirinya ke tengah dunia melalui revelasi. Inkarnasi Yesus Kristus merupakan revelasi terbesar dan teragung Allah dalam sejarah manusia.

Kritik Atas Gelar Maria Perawan Bunda Allah
            Polemik antara Gadamer dan Habermas akan dijadikan dasar untuk mengkritisi instalasi gelar Perawan Bunda Allah atas Maria.
Seperti yang saya utarakan pada bagian pendahuluan Gadamer memainkan peranan penting dalam sejarah hermeneutika. Ia adalah seorang hermenuet sejati.[3] Gambaran pemikiran hermeneutis Gadamer tertuang dalam bukunya yang berjudul ‘Kebenaran dan Metode’. Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutik sebagai metode dan berada jauh dari kebenaran. Yang ingin ia tekankan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Alasannya,  menurut Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual sedangkan metode justru merintangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode tetapi melalui dialektika. Dalam dialektika kesempatan mengajukan pertanyaan menjadi lebih luas dan terbuka kemungkinannya dibandingkan dalam proses metodis. [4]
Bagi Gadamer memahami adalah menafsirkan dan menafsirkan adalah mengalami. Mengalami, mengandaikan adanya keterlibatan dari Subjek terhadap apa yang hendak dipahaminya. Keterlibatan ini melintasi suatu proses pemahawan awali. Ada horizon pra pemahaman sebelum subjek sampai pada pemahaman: suatu peleburan dua horizon, horizon  awali subjek dan keadaan riil objek.
Dengan alasan inilah dua subjek yang berbeda bisa memahami secara berbeda pula satu objek yang sama. Horizon awali yang berbeda serta proses peleburan dan pengalaman dengan objek menjadikan pemahaman subjek bukan hanya berbeda tetapi khas. Dengan demikian pemahaman tidak pernah objektf dan alamiah. [5] Sebab, pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktu, misalnya dalam sejarah. Semua pegalaman yang hidup itu menyejarah; bahasa dan pemahaman juga menyejarah.
Sampai pada titik ini Gadamer berbicara tentang dimensi ontologis dari hermeneutika. Dalam ontologi  kita mengkaji ‘ada’ yang keberadaannya tidak disangsikan lagi karena keberadaannya dapat dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra.
Tradisi adalah juga ‘ada’ yang ontologis. Seperti manusia terlempar dalam sejarah demikian ia pun terlempar dalam tradisi. Segala pemahaman yang terbentuk dalam proses peleburan dua horison selalu ditentukan oleh tradisi yang melatari terbentuknya konsepsi (pra pemahaman) subjek.  Karena itu sekali lagi pemahaman terjadi kalau ada kesediaan untuk menjelajahi wilayah pra pemahaman yang lain dan serentak dengan itu  mebuka diri bagi penjelajahan pra pemahaman kita oleh yang lain. ‘Kesalahpahaman’ (kesalahan pemahaman) terjadi ketika orang hanya sampai pada pra pemahaman tetapi berpikir sudah sampai pada pemahaman. Kalau pra pemahaman itu adalah tradisi maka orang mesti melampaui tradisinya agar bisa sampai pada tradisi orang lain.
Inilah sumbangan besar Hermeneutika Gadamer. Selain berlangkah maju dari kekakuan metodis ilmu alam dan ciri yang terlalu objektivistis dari ilmu-ilmu pasti Gadamer serentak menyajikan hermeneutika yang komunikatif dalamnya pemahaman mendapat perhatian.
Jürgen Habermas mengapresiasi dimensi positif dari Hermeneutik Gadamer. Gadamer dinilai sanggup membongkar objektivisme ilmu eksata yang tidak memperhatikan relasi subjek dengan objek pengenalan. Selain itu Gadamer juga sanggup menempatkan ilmu pengetahuan dalam konteks pengalaman manusia yang sepenuhnya ditentukan oleh tradisi, oleh kondisi sejarah tertentu.
Selain mengacungkan jempol atas hermeneutika Gadamer, Habermas juga mengeritik ciri ontologis dari Hermeneutik Gadamer. Hermeneutik Gadamer hanya menjelaskan adanya tradisi tanpa ada usaha untuk memberikan penilaian atasnya. Keterlemparan manusia ke dalam tradisi tidak berarti memandulkan daya kritisnya atas tradisi.
Sebagai bagian dari hermeneut yang mendukung hermeneutika yang kritis, Habermas menekankan pentingnya suatu gerakan emansipatif dalam hermeneutika. Hermeneutika tidak hanya sebatas berkutat seputar pemahaman dan interprestasi. Akan tetapi hermeneutika juga berurusan dengan upaya pembebasan manusia dari idea yang membelenggu. Fungsi ini berjalan jika dan hanya jika manusia tidak hanya menjadi objek pasif dari pewarisan tradisi. Ia harus menjadi subjek aktif yang sanggup memberikan kritikan atas tradisi yang membentuk horison awalinya.
Dengan ini saya tidak hendak mengatakan bahwa tradisi dalam dirinya senantiasa berciri negatif. Tradisi harus diakui merupakan akumulasi dari pemikiran suatu masyarakat ketimbang pemikiran seorang subjek. Akan tetapi itu juga tidak berarti tradisi imun terhadap kekeliruan. Mayoritas tidak serta merta menunjukkan kualifikasi kebenaran. Sejarah telah membuktikan bahwa mayoritas dalam suatu tradisi ternyata keliru dibandingkan minoritas dalam kasus Galileo-Galilei.
Bersama Gadamer saya mengakui bahwa tradisi mempunyai otonomi dalam dirinya yang  tidak ‘terambah’ subjek karena tradisi sudah ada lebih dahulu dari subjek. Dalam hal ini tradisi mempunyai otoritas tak terbantahkan. Setiap kita hanya bisa menerima keadaan keterlemparan itu tanpa bisa mengubahnya, bahwa sudah ada sesuatu yang telah terjadi sebelum saya di luar kemapuan saya dan membentuk cakrawala berpikir masyarakat di mana saya hidup. Ini adalah suatu ‘keterlemparan’. Artinya keadaan ini berada di luar kemampuan saya. Dengan demikian kalau saya mempunyai kemampuan untuk tidak ‘terlempar’ maka saya bisa memilih untuk tidak ‘terlempar’. Dengan kata lain conditio sine qua non dari tradisi sebagai otoritas mutlak yang membentuk saya berlaku, ketika saya tidak mempunyai kemapuan untuk membuat kritik atasnya. Kondisi itu terjadi pertama pada saat saya dilahirkan, kedua ketika saya belum mempunyai kerangka dan daya nalar kritis, dan yang ketiga keadaan di mana saya seharusnya bisa membuat pilihan lain tetapi dikondisikan untuk tidak bisa. Dari sisi subjek keadaan pertama dan kedua merupakan kondisi yang terjadi secara alamiah sehingga tidak bisa dihindari. Keadaan yang ketiga ini harus dikritisir bahkan dilawan karena di dalamnya mengandung penindasan, indoktrinasi oleh satu ideologi tertentu. Kondisi ketiga lebih mengindikasikan keadaan ‘dilempar’ atau ‘disekap’ ketimbang ‘terlempar’ secara alamiah. Bangsa ini pernah mengalami masa-masa pahit indoktrinasi pancasila dalam masa orde baru. Pada waktu itu berbicara tentang ideologi lain adalah haram. Ideologisasi pancasila yang dianggap ‘keramat’ (sakti) ternyata justru mengkrangkeng nilai-nilai luhur dari pancasila itu sendiri. Alhasil terjadi distorsitas makna dan tindakan di pelbagai lini kehidupan yang dilakoni aparat pengayom pancasila.
Karena itu hemat saya apa yang disampaikan Habermas tentang kritik atas tradisi perlu dihidupi agar orang tidak menjadi objek pasif yang hanya tahu menerima tanpa memberi penilaian atas tradisi. Tradisi harus dicurigai karena ia membawa serta kemungkinan-kemungkinan yang membredel daya kritis suatu masyarakat. Bahkan lebih dari itu tradisi bisa menjadi penindas yang kejam yang melanggengkan keadaan diskrimanatif berabad-abad, di mana ada kelompok yang diuntungkan dan kelompok lain ditelantarkan. Karena tradisi dilindungi oleh otoritas yang diayomi oleh institusi tertentu maka alamat kritikan adalah institusi. Ini tidak berarti masyarakat dibebaskan dari kemungkinan untuk dikritisir. Masyarakat juga harus dikritisi tetapi sejauh sebagai pelaksana kebijakan dari pengambil kebijakan publik. Yang mengambil kebijakan publik adalah otoritas dalam institusi. Bukan hal baru kalau otoritas dalam institusi itu mengambil kebijakan yang menguntungkan secara institusional. Seringkali ideologi dijadikan alat represif demi pelanggengan kekuasaan.
Instalasi pelbagai gelar atas diri Maria secara khusus Perawan Bunda Allah harus diberi penilaian secara kritis. Yang pertama harus saya katakan bahwa benar Perawan Bunda Allah sudah menjadi dogma resmi dalam ajaran iman katolik. Karena dogma adalah kebenaran iman tentu saja telah dipertimbangkan secara kritis pelbagai hal untuk mempertangungjawab kannya.  Dogma ini secara resmi sudah menjadi tradisi yang sekian lama dihidupi dalam gereja katolik dan menandai praktek kehidupan beriman umat katolik. Namun saya kira Sebagaimana tradisi layak dicurigai karena memiliki kemungkinan menindas demikian pun dogma Maria Perawan Bunda Allah yang menjadi tradisi iman juga mesti dicurigai karena memiliki kemungkinan yang sama. Artinya dogma ini dan pelbagai kebenaran serta ajaran iman yang lain dibentuk dalam suatu konteks tertentu. Biasanya pelbagai dogma dan ajaran dibentuk untuk menjawabi pertanyaan, kebutuhan suatu komunitas iman tertentu. Pelbagai pertanyaan Perawan Bunda Allah diajukan ketika ada benturan antara suatu keyakinan yang telah sekian lama telah dipegang teguh dengan kenyataan baru yang melahirkan kekaburan yang menuntut penjelasan atau jawaban. Karena itu bukan tidak mungkin demi mempertahankan kebenaran tertentu, tradisi tertentu orang memberi jawaban apologetis yang mungkin tidak menjawabi kebutuhan penanya. Hal ini juga tidak berarti bahwa setiap pertanyaan yang diajukan harus diberi jawaban yang memuaskan penanya. Karena jawaban seperti bisa jadi adalah jawaban yang ‘tergesa-gesa’, kurang kritis dan hanya untuk menyenangkan penanya yang mempunyai otoritas yang lebih tinggi baik dari segi sosial, politik maupun ekonomi. Pertanyaan harus tetap diajukan untuk menjernihkan dan mempertajam makna dari suatu putusan, ajaran, dogma maupun tradisi tertentu. Tradisi yang baik adalah tradisi yang terbuka untuk dipertanyakan. Walaupun demikian tidak semua pertanyaan harus diberi jawaban. Yang harus dihindari Allah tekanan otoritas dalam tradisi yang tidak memberikan kemungkinan bagi orang untuk bertanya, lebih-lebih kalau otoritas menyiapkan seperangkat jerat hukum terlebih dahulu bagi penanya yang tidak mengindahkan  ‘kaidah’ yang berlaku.
Dewasa ini para teolog dan cendikia feminis merekomendasikan rekonstruksi atas kitab suci.[6] Mereka menilai kitab suci bias gender. Kitab iman itu dinilai turut terlibat dalam mengkonstruksi masyarakat patriarkat dalamnya pelbagai kemungkinan kaum perempuan berperan secara publik diredam. Para teolog feminis sangat yakin bahwa Allahnya Yesus Kristus adalah Allah yang merangkum semua jenis kelamin. Ia bukan hanya Allah Bapa tetapi juga Allah Ibu. Allah yang diwartakan Yesus Kristus adalah Allah yang tidak menghendaki adanya diskriminasi, tindak kekerasan dan ketidakadilan. Konstruksi yang partiakhalis dan diskriminatif adalah kesalahan sejarah masa lalu yang mematikan unsur kehidupan yang membebaskan. Oleh karena itu sejarah harus direkonstruksi ulang. Manusia tidak boleh terpekur karena keterlemparannya dalam sejarah. Manusia juga mesti mempertanggungjawabkan sejarahnya. Sejarah harus menjadi sejarah yang hidup dan membebaskan.
Sudah sejak awal gerakan kaum fiminis mencurigai pelbagai penggelaran mulia atas Maria. Pelbagai gelar itu seakan menempatkan Maria pada suatu posisi istimewa yang membatasi kesederajatannya dengan kaum feminin yang lain. Kritikus yang paling awal dalam gerakan ini adalah Simone de Beauvoir, 1952.[7]  Menurut Beauvoir meskipun ibu dan Kristus diangkat dalam kemuliaan namun keperawanannya memiliki dimensi negatif bagi kaum perempuan. Keperawanan adalah simbol tertinggi kemenagan kaum laki-laki. Maria dimuliakan hanya dengan menerima peran subordinasi, taat di bawah titah Allah yang maskulin.
Pada pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an para cendikia feminis dengan saksama melihat segi regresif dari simbol-simbol tentang Maria dalam kehidupan kristen. Maria seringkali digambarkan sebagai perempuan muda yang sendirian, mengulum senyum, memandang ke bawah dari lapik-lapik gereja. Simbolisasi seperti ini menjadikan Maria sebagai model ideal dan serentak dengan itu menutup kemungkinan bagi kaum feminis untuk menggapai apa yang diidealkan itu. Tiga komentar dari para cendikia feminis paling kurang melontarkan hal itu.[8] Kari Børreson, cendikia asal Norwegia mengatakan bahwa Maria mengejawantahkan pertalian hakiki antara keperempuanan dan subordinasi yang dibentuk kaum patriarkat. Senada dengan itu Fiorenza menegaskan bahwa simbolisme Maria telah menghilangkan kesetaraan dan kemampuan kaum perempuan untuk memimpin. Selanjutnya dengan kritikan tajam, Rosemary Radford Ruether menegaskan Maria telah menjadi proyeksi ideal feminin kaum lelaki, Maria telah menjadi perawan yang patuh, pasrah, prototipe perempuan sejati, serentak terbebas dari relasi keperempuanan seksual.
Elizabeth Johnson membedah secara khusus tiga bidang utama simbolisme yang regresif tentang Maria.[9] Yang pertama, dikatakannya bahwa pengagungan Maria dengan pelbagai gelar secara sangat simultan juga merupakan perendahan martabat wanita secara keseluruhan. Maria diposisikan pada suatu tempat yang mulia, agung serentak dengan itu Hawa dan puteri-puteri Hawa yang tak mungkin menggapai keperempuanan model Maria adalah perempuan penyebab kejatuhan manusia ke dalam dosa, gerbang masuknya iblis ke dalam kehidupan manusia. Yang kedua, tradisi Maria telah menciptakan dikotomi perempuan dan laki-laki. Dikotomi ini berdampak pada pelaksanaan peran publik di mana laki-laki mendominasi pelbagai peran aktif sedangkan perempaun pelbagai peran pasif. Yang ketiga, adalah soal penetapan Maria sebagai pelayan, perawan dan ibu merupakan suatu pembenaran konsep sosio-historis dalam ranah teologis tentang limitasi peran perempuan hanya sebagai pelayan, ibu; di satu pihak penekanan virginitas adalah bentuk penentuan batas martabat keperempuanan. Seakan-akan hanya keperawanan yang menjadi dasar penilaian kemuliaan perempuan.[10] Konsekuensinya perempuan yang tidak lagi perawan berarti kehilangan ‘kemuliaannya’. Karena kebanyakan perempuan tidak lagi perawan secara fisik maka lebih banyak lagi perempuan yang tidak bisa menggapai ‘kemuliaan’ seperti model ideal Maria. 
Semua alasan yang telah dikemukakan di atas dan juga pelbagai alasan lain menunjukan bahwa simbolisasi Maria dengan pelbagai gelar dalam dirinya mengusung peti mati bagi gerakan penempatan perempuan pada posisinya yang benar. Semua usaha itu adalah pembetotan Maria dari historitasnya yang riil, yang memiliki keserupaan dengan kaumnya secara keseluruhan. Oleh karena itu pelbagai simbol yang merengsekmundurkan perkembangan rohani kaum perempuan harus ditinggalkan dan diganti dengan menempatkan Maria pada posisi historisnya yang riil.
Menempatkan Maria pada posisi historisnya yang riil berarti menafsir ulang tradisi Maria secara berlawanan dengan tafisiran lama yang telah berurat akar. Karena sebagian terbesar tradisi kekristenan bersumber pada kitab suci menafsir ulang tradisi berarti berarti merekonstruksi ulang kitab suci. Harus diakui bahwa kitab suci merupakan salah satu bentuk pernyataan revelatoris Allah melaui para penulis suci. Roh Kuduslah yang memberi inspirasi sehingga mereka sanggup menulis. Meskipun demikian kita harus membuka mata akan kelemahan manusia dalam pengejawantahan revelasi Allah. Allah yang maha tidak terbatas itu merevelasikan DiriNya dalam situasi dan kondisi manusia yang serba terbatas. Karena itu salah tafsir, kekeliruan, serta pelbagai keterbatasan manusiawi lain meski diperhitungkan sebagai salah satu kemungkinan yang mengaburkan maksud revelasi Allah yang benar. Dengan demikian diperlukan hermeneutika kecurigaan kritis untuk memperjelas maksud revelasi Allah yang benar. Yang menjadi patokan dasar dalam menafsir adalah bahwa Allah yang diwartakan Yesus Kristus merupakan Allah yang menghargai manusia, memperjuangkan pembebasan dan penyelamatan manusia seluruhnya baik perempuan maupun laki-laki. Dengan demikian kalau dalam realitas kehidupan menggereja ditemukan bahwa ada pihak yang dikorbankan karena tradisi iman tertentu harus diyakini bahwa revelasi itu bukan sepenuhnya datang dari pihak Allah. Karena itu tradisi iman yang membelenggu pihak tertentu harus ditafsir ulang secara baru agar maksud Allah yang sejati tidak diselewengkan.
Dalam Kitab Suci Maria digambarkan sebagai perempuan dusun Yahudi yang hidup bersama para petani dan tukang. Suaminya Yusuf adalah seorang tukang. Ia kemungkinan mempunyai beberapa anak (Mrk. 6 : 3, saudara-saudari Tuhan Yesus). Karena itu tugas kesehariannya adalah sebagai seorang ibu rumah tangga yang sibuk melayani anak-anaknya. Dalam membesarkan anak-anaknya ada kemungkinan Maria belum mengerti dengan misi Putera sulungnya sebagai Imanuel, sebagai Allah yang menjadi manusia. Maria tampil sebagai seorang perempuan yang sungguh melihat Putera sulungnya sebagai seorang pribadi manusia, tetapi lengkap dengan martabat dan kekuatan ilahi. Maria adalah seorang perempuan yang mendengarkan firman Allah, menyimpan firman itu dalam hatinya dan melaksanakannya dalam kehidupan. Ia tidak saja melahirkan Yesus tetapi juga ada bersama Yesus dan murid-muridnya di saat-saat Dia menghadapi pemuliaan Diri-Nya di atas salib. Di dalam kelahiran dan kematian Puteranya Maria seakan memberi kesaksian dari kemanusiaan rapuh dari Allah yang menjelma itu. Dengan demikian lebih pantas kalau Maria dilihat sebagai perempuan yang mengambil keputusan secara sadar dan merdeka untuk ikut serta dalam pemerintahan Allah dan bukannya sebagai contoh tentang kepatuhan pasfif kepada seorang Allah yang maskulin.
Kesimpulan
Tradisi memiliki otonomi dalam dirinya. Karena dia memiliki otonomi serentak ia memiliki otoritas. Tradisi adalah hasil bentukan manusia. Akan tetapi dalam kenyatan manusia dimiliki tradisi. Manusia ‘terlempar’ ke dalam traidisi tanpa terelakan. Karena itu tradisilah yang membentuk manusia dan bukan manusia yang membentuk tradisi. Buah pemikiran Gadamer ini benar tapi tidak boleh berlaku mutlak dan universal. Kondisi keterlemparan dalam tradisi tidak serta merta memandulkan daya kritis dan membenamkan unsur kreatif dalam diri manusia untuk mereformasi tradisi. Seperti kata Habermas tradisi itu harus dikritisir. Hanya dengan memberi kritikan terhadap tradisi kita bisa membebaskan diri dari ideologi represif masif yang tersembunyi dalam tradisi. Hermeneutika kecurigaan kritis harus menjadi daya emansipatif yang sanggup membongkar pelbagai pembelengguan manusia atas nama perlindungan ideologi, ajaran yang diayomi tradisi.
Dogma Maria Perawan Bunda Allah dan pelbagai instalasi ilahiah atas Maria Ibunda Yesus ternyata mengandung dalam dirinya pelbagai dimensi regresif yang menempatkan kaum perempuan pada posisi sub ordinatif dari kaum laki-laki. Pengenaan pelbagai simbolisasi dan gelar mulia atas Maria yang menjadi simbol perjuangan kaum perempuan lebih merupakan upaya menarik mundur gerakan emansipasi kaum perempuan ketimbang upaya pembebasan. Karena itu penafsiran ulang atas pelbagai gelar yang  dikenakan pada Maria khususnya Perawan Bunda Allah merupakan kemendesakan. Maria harus dikembalikan pada posisinya yang benar. Secara historis Maria adalah perempuan bersahaja yang dengan kekuatannya sanggup mengatakan tidak dengan dominasi kaum patriarkat pada zamannya. Maria adalah tipe murid sejati yang berhasil melaksanakan tugasnya sampai tuntas. Ia tetap bersahaja.
Akhirnya harus saya katakan bahwa tulisan ini bukanlah jawaban tertutup atas realitas dimensi regresif dari instalasi Perawan Bunda Allah atas Maria. Tulisan ini adalah juga sebuah pertanyaan yang mencurigai kemapanan sebuah tradisi. Sekali lagi harus ditegaskan tradisi yang baik adalah tradisi yang terbuka untuk dipertanyakan, tradisi yang senantiasa siap memberi jawaban kepada dunia yang membutuhkan jawaban.

Penulis adalah alumus dari Sekolah Tinggi Filsafat Dan Teologi Katolik Ledalero
Gregorius Willy Seda, S. Fil

berita lainnya

[1] Clifford, M. Anne. Op. Cit. P. 306.
[2] Ibid. P. 308.
[3] Gadamer secara mendasar menegaskan bahwa hermenetika lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasi sebuah teks. Hermeneutika adalah bagian dari pengalaman mengenai seluruh dunia.  Pemahaman baginya berkaitan dengan hubungan makna dalam teks dan realitas yang ktia perbincangkan.Sumaryono, E, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta : Kanisius,1993), P.78.
 [4] Ibid. P. 63.
[5] Ibid. PP. 76-77.
[6] Bab II buku Memperkenalkan Teologi Feminis dibicarakan secara khusus tentang beragam sisi tilik kaumfeminis tentang kitab suci. Bahkan Elizaberh Cady Stanton memelopori The Women’s Bible, suatu pelukisan kitab suci dari sisi tilik perempuan. Clifford, M. Anne. Op. Cit. PP.78-83
[7] De Beauvoir mengeritik Luk 1:38 dengan mengatakan, untuk pertama kalinya di dalam sejarah manusia, seorang ibu berlutut di hadapan puteranya; ia dengan bebas menerima inferioritasnya. Ini adalah kemenangan tertinggi kaum laki-laki, yang berpuncak dalam kultus keperawanan-ini adalah rehabilitasi seorang perempuan melalui purnyanya kekalahan. Ibid. P.309.
[8] Ibid. P.310.
[9] Ibid. P.311.
[10] Penilaian macam ini diksriminatif. Dalam masyarakat timur keperawanan fisik perempuan begitu ditekankan dan tidak jarang menjadi salah penentu besar kecilnya belis. Keperawanan sering diidentikan dengan mahkotanya kaum perempuan. Di pihak lain kaum laki-laki bebas sama sekali dari penilaian semacam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda