![]() |
gambar:ilustrasi |
Willy Seda, S.Fil.
Berbagai media telah
menjadikan frasa ‘2014 tahun politik’ sebagai berita yang santer. Spontan
kebanyakan orang mungkin akan setuju dengan frasa di atas karena toh di tahun
ini sebagai bangsa demokrasi kita akan menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presidensial. Namun kalau kita sedikit lebih kritis dengan menyebutkan
2014 sebagai tahun politik kita sebenarnya sedang membuat limitasi akan arti
dan kegiatan berpolitik itu sendiri. Dengan menyandingkan 2014 dengan tahun
politik saya takut masyarakat akan berpikir politik hanya berkaitan dengan
Pemilu belaka.
Padahal politik itu sangat luas. Ia tidak hanya berkutat ihwal
pemilihan umum yang berlangsung lima tahun sekali itu. Politik berkaitan dengan
pengaturan kehidupan publik. Karena itu ia tidak mesti hanya bergema lima tahun
sekali. Politik dan aksi politis mesti tetap dijtunjukan selama sebuah Negara
eksis.
Politk sering juga
dianalogikan dengan sebuah seni (Politic is an art). Terlepas dari banyaknya
artis yang mencalonkan diri sebagai caleg (meskipun harus membayar mahal) salah
satu arti dari politik itu sendiri adalah seni untuk mengatur kehidupan publik
dan otoritas untuk mengatur itu diraih lewat perebutan kekuasaan secara
kontitusional maupun non konstitusional. Konsekuensi dari artian seperti ini
maka orang yang mengatur kehidupan publik adalah seniman, artist. Politician is
an artist. Karena itu politisi yang menjadikan kehidupam publik jadi khaos (tidak teratur) sesungguhnya bukan
atau tidak layak disebut sebagai politisi. Seperti laiknya Seni itu menghibur demikiapun
politik menjaga keteraturan bukan mengacaubalau.
Dalam kaitan dengan dunia seni ada satu falsafah, “seni itu indah;
dan yang indah itu selalu baik”. Karena dalam dirinya seni itu indah dan baik
maka seorang seniman pun mesti memanifestasikan hakikat ini. “The politician is
an good one and beuty one.” Dengan demikian ketika seorang seniman (baca:
politisi) melakukan hal-hal yang tidak baik seperti tindakan indisipliner dan
inkonstitusional semestinya dengan gentel dia berhenti dari kegiatan
berpolitik. Tindakan indisipliner dan inkonstitusional mengindikasikan bahwa
seseorang tidak sanggup lagi mengatur kepentingan publik. Yang mesti dia
lakukan adalah berhenti (sejenak) atau berhenti secara tetap dari kegiatan
politis. Berhenti sejenak sebagai momentum reflektif untuk melihat kembali
karir politis yang telah ditempuhnya apakah sesuai dengan amanat rakyat dan
konstitusi atau tidak. Seorang pejabat politis juga bisa berhenti permanent
kalau memang sudah tidak sanggup lagi memainkan perannya sebagai seniman
politis atau dengan kata lain harus dicari seniman lain yang mempunyai
kemampuan lebih dalam menjalankan amanah konstitusi.
Yang menjadi soal adalah,
selama ini para politisi maupun calon politisi kita belum sampai atau telah
jauh meninggalkan hakikatnya sebagai politisi sejati yang seharusnya mengatur
kehidupan umum. Yang lebih buruk dari itu adalah seseorang yang menamakan
dirinya politisi atau menduduki jabatan politis tetapi bukan politisi. Sehingga
yang terjadi adalah, “the wrong man in the right place.” Dampaknya? Orang tidak
sanggup mengatur kepentingan publik dan yang dilakukannya adalah bukan mengatur
kehidupan publik tetapi mengatur kehidupannya sendiri. Kalau seperti ini yang
terjadi maka patut dipertanyakan “quo vadis kehidupan politis kita”? Mau dibawa
ke mana rakyat kecil yang dipimpinnya?
Sebagaimana halnya sebuah
karya seni, drama atau teater misalnya para penonton mesti mengikuti seluruh
alur pentas dari awal hingga akhir. Hanya dengan demikian penonton dapat
menangkap pesan atau makna dari sebuah adegan yang dibawakan. Rakyat juga tidak
bisa hanya terlibat aktif waktu pemilu kemudian empat tahun sesudahnya pasif.
Sekali lagi aktivitas politis itu tetap berlangsung selama sebuah Negara itu
eksis. Rakyat sebagai penikmat dan penilai karya seni politik juga mesti
mengawal seluruh proses politis itu hingga tuntas. Karena batasan kontitusional
adalah limat tahun lamanya seorang menjadi pengatur kehidupan publik maka
rakyat juga mesti mengawal perjalanan politis orang yang dipilihnya selama lima
tahun.
Para caleg juga
semestinya menyadari tanggung jawab politisnya sebagai pengemban amanah rakyat.
Sangat naïf jika seorang anggota legislatif ‘berpura-pura’ memberi perhatian
kepada rakyat selama menjadi caleg tetapi meninggalkan rakyat setelah menjadi
pemangku jabatan aktif. Karena itu hemat saya tidak bijak bahkan sangat
berbahaya jika para caleg kita rame-rame membagikan jatah pribadinya selama
‘bulan-bulan politis’ 2014 lalu meraup habis jatah public yang seharusnya
di-masyarakat-kan ketika menjadi anggota legislatif. gws
Berita lain
______________
Kami
memberi kesempatan kepada siapa saja untuk mengirimkan berita,artikel,
foto-foto yang ada hubungannya dengan Manggarai Raya (Maya). Dukungan anda sangat
kami hargai. Mari kita bersama tingkatkan kemajuan Maya tercinta. Anda dapat
mengirimkan informasi anda lewat email willyseda72@gmail.com atau ponsel
no 081339141853
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dukung PIMR Memajukan Manggarai Dengan Saran, Kritikan Dan Komentar Anda